Jika kita membandingkan antara mufassir Muhammad Abduh dengan Sayyid Ahmad Khan, maka pada dasarnya mereka memiliki kesamaan pemikiran. Hal tersebut tercermin dari beberapa ide terutama mengenai akal yang memiliki peranan cukup tinggi dalam pandangannya.
Namun demikian, menurut penulis mereka tidak terlalu ekstrem dalam penghargaan akal seperti yang dilakukan oleh kaum Muktazilah. Karena mereka tetap berpendapat bahwa akal bukanlah segalanya dan masih memiliki keterbatasan. Karena masih menerima adanya kebenaran wahyu.
Sedikit gambaran bahwa Sayyid Ahmad Khan dalam penafsirannya meyakini bahwa sains modern tidak bertentangan dengan al-Qur’an. Dalam hal ini beliau meletakkan prinsip “conformity to nature” serta kriteria bahwa tidak ada satupun di dalam al-Qur’an yang bertentangan dengan hukum alam.
Meskipun begitu tafsir saintifik milik Ahmad Khan yang bernama Tafsir Al-Qur’an wa al-huda wa al-Furqan, bisa dikatakan tafsir yang belum sempurna dan belum selesai. Disamping itu juga, tafsir yang dihasilkan oleh Ahmad Khan tidak sekedar tafsir modern melainkan juga ada unsur hermenutik.
Pada tulisan ini, penulis akan sedikit membahas mengenai biografi Sayyid Ahmad Khan, inti pemikirannya, hingga metode penafsiran yang ia gunakan.
Biografi Singkat
Sayyid Ahmad Khan lahir di Delhi pada tanggal 17 Oktober 1817 dan dibesarkan dalam lingkungan keagamaan. Ia dididik secara tradisional dan klasik, ia menjadi anak yatim semasa mudanya ketika ayahnya meninggal pada tahun 1838 M. Kemudian pada umur 29 tahun ia mulai mendalami ilmu Agama. Beliau sering menulis risalah agama seperti biografi nabi-nabi.
Beliau sempat mempelajari kebudayaan Inggris pada saat itu untuk mengisi waktu luang guna memimpikan zaman keemasan kebudayaan Islam India. Ketika setelah terjadinya pemberontakan pada tahun 1857, Inggris begitu mendominasi India. Sehingga Sayyid Ahmad Khan pada saat itu berkesimpulan bahwa keselamatan kaum muslimin tergantung pada kerjasama dan bagaimana menjalin persahabatan dengan Inggris dan ia sendiri memposisikan dirinya sebagai mediator.
Dalam membantu melancarkan asimilasinya tersebut, Sayyid Ahmad Khan mengeluarkan fatwanya yang berisi mengenai hukum tidak adanya larangan bagi kaum muslimin untuk makan bersama-sama dalam satu meja dengan orang-orang Kristen.
Pemikiran Sayyid Ahmad Khan
Seperti yang penulis gambarkan pada awal paragraf di atas, beliau meyakini bahwa kekuatan dan kebebesan akal menjadikannya percaya bahwa manusia bebas berkehendak dan berbuat. Sekilas paham ini mirip bahkan persis dengan paham Qodariyah. Sejalan dengan paham Qodariyah ini, beliau percaya bahwa setiap makhluk telah ditentukan sifat-sifatnya oleh Tuhan. Dan sifat yang telah Tuhan tentukan itu disebut dengan sunnatullah yang tidak dapat berubah.
Beliau beranggapan bahwa Islam merupakan agama yang meyakini adanya hukum alam. Antara hukum alam sebagai ciptaan Tuhan dan al-Qur’an sebagai firman Tuhan yang tidak bertentangan. Menurutnya alam beredar menurut hukum alam yang telah digariskan oleh Tuhan. Bahkan segala sesuatu di dunia ini berjalan menurut hukum sebab akibat. Namun dalam segala sesuatunya bergantung pada sebab utama dan sebab pertamanya adanya peranan Tuhan.
Sayangnya, karena kepercayaan yang begitu kuat terhadap kepercayaannya mengenai adanya hukum alam dan kerasnya pendapat beliau mengenai hal tersebut ia dituduh sebagai seorang kafir oleh golongan Islam yang belum menerima tentang idenya mengenai hukum alam.
Sejalan dengan pahamnya di atas, ia menolak tentang adanya taklid bahkan dengan tegas menyerang faham ini. Menurutnya sumber ajaran Islam adalah al-Qur’an dan hadis. Pendapat ulama khallaf tidak dapat selamanya dijadikan hujjah pada kehidupan zaman modern. Oleh karena itu diperlukan adanya ijtihad yang baru untuk menyesuaikan ajaran-ajaran Islam yang sesuai dengan zaman dan keadaan masyarakat yang berubah.
Metode Tafsir Sayyid Ahmad Khan
Ada yang cukup menarik dalam penafsiran Sayyid Ahmad Khan. Beliau menggunakan berbagai macam pendekatan yang jarang digunakan oleh mufassir-mufassir sebelum maupun sesudahnya. Salah satunya dalam menafsirkan mengenai paham ketuhanan ia menggunakan argumen kosmologis.
Misalnya dalam mengemukakan argumennya yang mengatakan bahwa ajaran terpenting agama Islam ialah percaya kepada eksistensi Pencipta sekalian makhluk. Dan seluruh yang dapat kita pahami dan bayangkan memiliki rantai penghubung dan saling bergantung antara satu dan yang lain.
Penghubung tersebut akan berakhir pada wujud atau sebab akhir, yang beliau maksud pada kata yang digarisbawahi tersebut ialah Tuhan atau penguasa alam semesta (Andi Rosa: 2015, hlm 28). Beliau menopang tema yang dimaksud dengan ayat al-Qur’an seperti dalam al-Rum: 20-25 dan beberapa ayat yang berhubungan kemudian menyimpulkannya.
Disamping itu, beliau juga menerapkan metode rasional. Misal, ketika ia menafsirkan mengenai malaikat Jibril, ia menyatakan bahwa Jibril bukan makhluk yang tepisah dari diri Nabi. Tetapi merupakan potensi kenabian yang hanya ada dalam hati seorang Nabi.
Potensi yang dimiliki Nabi Muhammad tersebut bersifat alami dan berkembang. Dan potensi Nabi tersebut beroperasi ketika ada sesuatu yang baru terpikirnya olehnya. Dan inilah yang menyebabkan al-Qur’an itu turun berangsur-angsur (hlm. 28).
Selanjutnya beliau mendapati argumen tersebut dengan mengutp beberapa ayat al-Qur’an seperti dalam al-Baqarah ayat 97, al-Qiyamah: 17-18 dan beberapa ayat yang lainnya. Namun terkait hal penafsiran bahwa malaikat itu bukan merupakan makhluk melainkan sebagai potensi sebagai kenabian. Hemat penulis, diperlukan lagi kajian yang mendalam dan coba buat analisis perbandingan dengan ayat lain seperti dalam Q.S. al-Baqarah ayat 177. Karena ayat tersebut berbicara mengenai keimanan kepada Malaikat.
Memadukan Sains Modern dengan Al-Qur’an
Lebih menariknya lagi, karena Sayyid Ahmad Khan ini termasuk orang yang memadukan antara sains modern dengan al-Qur’an, beliau pernah menafsirkan term “al-alaq”. Beliau berpendapat bahwa al-Qur’an melampau zamannya. Karena di dalam telah disebutkan mengenai awal mula penciptaan manusia dari segumpal darah, yang jika ditafsirkan itu berawal dari air mani (spermatozoa).
Menurutnya, jika suatu saat terjadi perubahan ilmu pengetahuan, maka itu menunjukkan kekeliruan pengetahuan umat manusia, bukan kekeliruan dalam al-Qur’an. Dengan kata lain, jika sains berkembang sampai ke masa mendatang, dimana hal-hal yang dipastikan tersebut tidak terbukti. Maka kita akan kembali kepada al-Qur’an dan tentu saja akan menemukan di dalamnya keselarasan dengan realitas.
Penyunting: M. Bukhari Muslim
























Leave a Reply