Sebelum mengenal industri mesin cetak, peradaban dan pengetahuan manusia direkam dan diabadikan dalam bentuk tulisan tangan yang dilakukan secara manual. Inilah yang kita kenal dengan nama manuskrip (manu; manual dan skrip; teks). Dalam perkembangannya perdaban Islam sampai mampu berkembang sampai saat ini tidak bisa dilepaskan dari berkembangnya peradaban manuskrip yang terjadi dalam peradaban Islam.
Pada konteks Indonesia, sebagai salah satu pesebaran Islam terbesar di Nusantara, Indonesia memiliki warisan manusrkip yang sangat kaya. Bisa dikalkulasikan manuskrip yang tersebar bisa mencapai 1000 lebih naskah Arab yang dapat ditemukan di beberapa daerah Indonesia. Itu belum termasuk naskah-naskah yang masih dalam kepemilikan pribadi yang banyak tersebar di kalangan masyarakat. Seringkali pula manuskrip-manuskrip tersebut sulit diakses untuk kepentingan penelitian karena dianggap keramat.
Islah Gusmian mengatakan bahwasanya kita mempunyai tradisi manuskrip yang sangat kaya. Hal itu beliau sampaikan dalam kesempatannya menjadi narasumber webinar Kuliah Tamu yang diselenggarakan Pascasarjana UIN Imam Bonjol Padang, dengan tema Kajian manuskrip al-Qur’an dan hadis di Indonesia (22/9/ 2021).
Mengapa Kajian Manuskrip Dianggap Penting?
Sebagai kalam Allah, Al-Qur’an mengalami proses transmisi dari tradisi kelisanan menuju ruang keaksaraan arab melalui praktik kebudayaan. Karena sebagaimana yang dikatakan Islah Gusmian, al-Qur’an yang akhirnya ditulis yang sebelumnya hanya dihafal, peradaban Islam pada masa awal saat itu meninggalkan beberapa persoalan.
“Persoalan pertama adalah aksara Arab ini adalah aksara arab yang sangat sederhana saat itu. Sebagai sistem simbol aksara Arab yang pada masa awal al-Qur’an ditulis aksara Arab belum mapan dan masih sangat sederhana”, jelas Islah.
Lebih lanjut Islah Gusmian mengatakan, belum kemapanan aksara Arab tersebut mempunyai problematika baik dari sisi model, sistem tanda baca dan pembeda antar huruf. Begitupula al-Qur’an sebagai sistem bunyi, tentu memiliki karakterisitiknya sendiri yang tersambung kepada Rasulullah.
“Karena sistem keaksaraan tadi belum sempurna dan aksara Arab ini terkait dengan disiplin ilmu tersendiri, maka keaksaraan Arab berkembang dan dinamis. Dan nanti akhirnya oleh para ulama Islam pada masa awal menyempurnakan aksara-aksara Arab ini karena terjadi perbedaan dalam membunyikan al-Qur’an. Nah untuk menghadapi masalah tersebut, semua itu basisnya merupakan wilayah studi manuskrip”, jelas Gusmian.
3 Wilayah Kajian Al-Qur’an Berbasis Manuskrip
Islah Gusmian membagi tipologi studi manuskrip al-Qur’an menjadi 3 bagian: Perama, studi Mushaf. Salinan al-Qur’an dalam berbentuk manuskrip ini adalah salinan dalam bentuk media kertas yang ditulis tangan. Islah Gusmian mengatakan, studi manuskrip mushaf menjadi penting dan menarik karena dapat dilihat pada dua aspek, yaitu aspek internal dan aspek eksternal.
“Aspek internal itu adalah unsur-unsur yang terdapat dalam mushaf. Itu bisa dilihat dari jenis khat, ilmuniasi (gambar), rasm, tanda baca, qira’ah, tekhnik penulisan atau media penulisan. Sedangkan pada sisi ekstenal, bisa diliat dari asal-usul, kepemilikan, sejarah dan tujuan penyalinan, konteks sosial politik dan sejarah sosial penyalin”, ujar Islah.
Wilayah kedua yaitu terjemah al-Qur’an. Islah Gusmian mengatakan di Indonesia bahkan di Nusantara kita memiliki warisan terjemah al-Qur’an yang sangat kaya dan masih ditulis dengan tangan. Walaupun penerjemahan al-Qur’an ini sempat diperbedatkan pada masa lalu di Indonesia, karena berusaha mereduksi al-Qur’an, para ulama tetap melakukan penerjemahan al-Qur’an menggunakan bahasa-bahasa lokal seperti Jawa, Sunda, Bugis dll.
“Proses menerjemahkan al-Qur’an tersebut tadi juga meresepsi atau membawa tradisi bahasa di luar bahasa Arab atau memasukan ke dalam praktik bahasa lokal. Manuskrip terjemah al-Qur’an juga bisa kita temukan terhadap audiennya siapa dan asal usul juga basis sosial penerjemah,” Ujar Islah.
Terakhir wilayah ketiga dalam studi manuskrip adalah tafsir al-Qur’an. Islah mengatakan manuskrip tafsir al-Qur’an yang ditulis tangan ini sangat banyak dengan bermacam tekhnik dan pendekatan.
“Manuskrip tafsir al-Qur’an selain dia dapat melakukan transmisi tafsir-tafsir bebahasa Arab di timur tengah, tetapi di saat yang sama ia juga melakukan artikulasi penafsiran sendiri karena ada konteks historis, sosial, politik ketika tafsir itu ditulis”, jelas Islah.
Reporter: An-Najmi Fikri R



























Leave a Reply