Setelah demikian banyak kata dihadapkan kepada Bani Israil, sekarang dihadapkan tuntunan bagi orang yang Mu’min sendiri, pengikut setia daripada Rasul, agar mereka menjaga sopan santun. Karena salah satu sebab keruntuhan jiwa Bani Israil itu ialah kerusakan akhlak mereka terutama terhadap kepada Nabi-nabi dan Rasul-rasul mereka. Di antara sopan santun itu ialah kesopanan memilih kata-kata yang akan diucapkan. Pilihlah kata-kata yang halus dan tidak bisa diartikan salah:
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu berkata: RA’INA, tetapi katakanlah UNZHURNA dan dengarkanlah baik-baik.” (pangkal ayat 104).
Sepintas lalu arti Ra’ina ialah gembalakanlah kami, atau bimbinglah kami. Dari kata Ri’ayah dan yang digembalakan itu ialah Ra’iyyah (dalam bahasa Indonesia menjadi rakyat). Tetapi dia bisa pula berarti lain, yaitu Ru’iy-na, yang berarti tukang gembala kami. Satu kali jadi Fi’il-amar, tetapi satu kali bisa pula menjadi Ism-fa’il. Mohon supaya kami digembalakan, bisa ditukar artinya menjadi engkau ini adalah tukang gembala kepunyaan kami. Dan bisa pula dari ambilan kata Ra’unah, yaitu orang yang tidak baik perangainya.
Maka orang-orang lain yang berniat jahat bisa saja dengan sengaja membawa arti kata itu kepada yang bukan kamu maksud. Dan ada pula artinya yang lain yang lebih buruk, yaitu: “Hai orang bodoh, tunggu sebentar.” Oleh sebab itu hendaklah kamu pilih kata yang artinya tidak dapat diputar-putar kepada maksud buruk. Kata itu adalah Unzhurna, artinya pandanglah kami, tiliklah kami.
Pandangan matapun boleh, pandangan hatipun boleh, namun kami tidak lepas dari bimbingan engkau. Dan diapun berarti beri peluanglah kami, dan juga berarti dengarkanlah perkataan kami. Dengan kata Unzhurna tidak ada sudut butuk buat orang masuk! Begitulah hendaknya sopan santun orang yang beriman terhadap RasulNya, yang juga menjadi ayah bagi seluruh Mu’min dan menjadi guru.
“Dan bagi orang-orang yang kafir adalah siksaan yang pedih.” (ujung ayat 104).
Artinya, apabila orang yang beriman tidak lagi menjaga sopan santunnya dengan Nabinya, berkata sembarang kata, bercakap sembarang cakap, disamakannya saja percakapan dengan orang biasa, alamat runtuhlah budinya. Apabila budi telah runtuh, niscaya kian lama tertutup pintu iman dan terbukalah pintu kufur. Dan kalau telah kufur, siksa yang pedihlah yang akan diderita, baik di dunia ataupun di akhirat kelak.
Sedangkan kepada guru yang mengajar kita, hilanglah berkat apa yang dipelajari kalau kita bercakap tidak dengan hormat kepadanya apatah lagi kepada Nabi Muhammad s.a.w. Perhatikanlah bagaimana jauhnya dari kesopanan seketika Bani Israil itu berkata kepada Musa: “Hai Musa, cobalah tanya kepada Tuhan engkau itu, lembu-betina yang macam mana yang dikehendakinya dari kami!” Apakah mereka tidak mempunyai kata lain yang lebih sopan dari itu terhadap seorang Rasul yang telah menyeberangkan mereka dari Mesir, membebaskan mereka dari perbudakan Fir’aun?
Dan ayat inipun menuntun kita, baik dalam pergaulan murid terhadap gurunya, atau rakyat terhadap pimpinan negaranya, ataupun dalam pergaulan sesama sendiri, supaya dalam bercakap pilihlah kata-kata yang baik lagi jitu dengan niat yang baik dan jitu. Sebagaimana Nabi orang Cina, Khong Hu Cu pernah juga mengatakan: “sebelum aku mengurus hal negara, lebih dahulu aku hendak menyelesaikan pengertian dari tiap kata yang dipakai.”
Voltaire pujangga Prancis pun berkata: “sebelum dua orang bertukar fikiran, hendaklah terlebih dahulu mereka bersepakat tentang arti kalimat yang hendak mereka bicarakan.”
Ayat inipun menjadi tuntunan bagi kita dalam memilih kalimat-kalimat di dalam surat-surat perjanjian (kontrak) dan lain-lain. Jangan dicampurkan kata-kata yang bisa disalah-artikan atau berlain pengertian. Di dalam surat-surat perjanjian bangsa yang kuat berkuasa terhadap bangsa yang lemah terjajah, seumpama bangsa Belanda seketika memasukkan pengaruhnya kepada raja-raja bangsa Indonesia zaman lampau, diperbuat perjanjian itu dalam dua bahasa, satu naskah dalam bahasa Belanda, dan satu naskah lagi dalam bahasa Melayu atau bahasa Daerah Jawa, Makassar dan lain-lain. Tetapi di dalam surat itupun diterangkan, bahwa jika terdapat perselisihan pengertian, maka naskah yang ditulis dalam bahasa Belandalah yang berlaku.
Kalimat-kalimat yang dipakai hendaklah yang tegas, yang maknanya dapat diartikan dengan jujur, bukan kalimat yang dapat disalah-artikan.
Sumber: Tafsir Al-Azhar Prof. HAMKA. Pustaka Nasional PTE LTD Singapura
























Leave a Reply