Tajdeed.id Kanal Tafsir Berkemajuan

Islam Dan Tradisi Lokal Dalam Perspektif Multikulturalisme

multikulturalisme
Sumber: freepi.com

Dalam diskursus mengenai relasi antara agama dan multikulturalisme di Indonesia, ada satu problem mendasar yang tampaknya belum ada jawaban memuaskan, yakni sejauh mana kompatibilitas agama dalam mengapresiasi wacana multikulturalisme. Sampai saat ini, masih sering muncul dilema bagi agama dengan klaim universalitasnya untuk menerima kenyataan pluralitas budaya yang harus diposisikan pada level yang sejajar tanpa ada diskriminasi antara satu dengan lainnya, sebagaimana dikehendaki dalam ide multikulturalisme.

Sebagai sebuah pandangan yang menyatakan anti diskriminasi, gagasan multikulturalisme tampaknya cukup memberikan nilai positif terhadap realitas kultural yang sangat beragam di negeri ini. Terlebih di kala kultur yang beragam tersebut tidak jarang menjadi potensi yang rentan menimbulkan konflik antar elemen masyarakat. Dalam hal ini, multikulturalisme dipandang mampu untuk memberikan apresiasi konstruktif terhadap segala bentuk keanekaragaman tradisi budaya, termasuk di dalamnya agama.

Wacana Agama dan Multikulturalisme

Gagasan multikulturalisme merupakan suatu isu yang relatif baru apabila dibandingkan dengan konsep pluralitas (plurality) maupun keragaman (diversity). keanekaragaman budaya dan kompleksitas kehidupan di dalamnya. Multikulturalisme mengajak masyarakat dalam arus perubahan sosial, sistem tata nilai kehidupan yang menjunjung tinggi toleransi, kerukunan dan perdamaian bukan konflik atau kekerasan meskipun terdapat perbedaaan sistem sosial di dalamnya.

Multikulturalisme sendiri sering dikaitkan dengan upaya untuk merajut kembali hubungan antar manusia yang belakangan selalu hidup dalam suasana penuh konflik. Ada sebuah kesadaran massif yang muncul, bahwa diperlukan kepekaan terhadap kenyataan kemajemukan, pluralitas bangsa, baik dalam etnis, agama, budaya, hingga orientasi politik. Multikulturalisme mengakui adanya politik universalisme yang menekankan harga diri semua manusia, serta hak dan kewajiban yang sama sebagai manusia. Tidak ada warga kelas satu (the first class) dan warga kelas dua (the second class), semua adalah sama (equal).

Melihat makna multikulturalisme sebagaimana disebut di atas, maka pembahasan agama dan multikulturalisme jelas menempati posisi yang signifikan bagi kehidupan bangsa Indonesia yang sangat plural, baik dari sisi agamanya, maupun keanekaragaman budayanya. Lebih dari itu, kesadaran multikulturalisme yang berbasiskan agama, jelas akan sangat kondusif, lebih produktif, dan menguntungkan bagi upaya mewujudkan Indonesia yang damai, jauh dari hingar bingar konflik yang hanya menyengsarakan orang kecil.

Baca Juga  6 Hikmah Pentingnya Menjalin Silaturahmi dalam Islam

Pergumulan Islam dengan Tradisi Lokal

Islam sebagai sebuah agama yang universal dan kosmopolit, apabila dilihat dari rentang perjalanan historisitasnya, khususnya pada masa-masa kejayaanya (the golden age of Islam) dari abad ke-7 sampai dengan abad ke-13 Masehi senantiasa bersikap terbuka terhadap pemikiran dan tradisi yang berbeda di luarnya, bahkan tak jarang memberikan apresiasi yang sangat bagus, dengan mengadopsi dan menjadikannya sebagai bagian yang integral dari Islam itu sendiri.

Refleksi dan manifestasi kosmopolitanisme Islam ini bahkan bisa dilacak dari sejarah paling awal kebudayaan Islam pada masa kehidupan Rasulullah hingga generasi-generasi sesudahnya, baik dalam format non material seperti konsep-konsep pemikiran, maupun yang material seperti seni arsitektur bangunan dan sebagainya.

Dalam sirah nabi misalnya, Rasulullah saw. pernah diceritakan berkhotbah hanya dinaungi sebuah pelepah kurma. Kemudian tatkala komunitas kaum muslimin mulaibertambah banyak, dipanggillah seorang tukang kayu Romawi. Ia membuatkan untuk Nabi sebuah mimbar dengan tiga tingkatan yang dipergunakan untuk khotbah Jum’at dan munasabah-munasabah lainnya.

Islam sebagai agama yang universal yang melintasi ruang dan zaman, kadangkala bertemu dengan tradisi lokal yang berbeda-beda. Ketika Islam bertemu dengan tradisi lokal, wajah Islam berbeda dari tempat satu dengan lainnya. Ajaran tentang tauhid (pengesaan Tuhan) adalah universal yang harus menembus batas-batas geografis dan kultural yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Sementara itu ekspresi kebudayaan dalam bentuk tradisi, cara berpakaian, arsitektur, sastra dan lain-lain memiliki muatan lokal yang tidak selalu sama.

Perspektif Multikulturalisme terhadap Relasi Islam dan TradisiLokal

Dalam perspektif multikulturalisme, tampak jelas bahwa keberadaan tradisi lokal dipandang sangat penting dalam memperkaya khazanah peradaban keislaman.

Masing-masing tradisi lokal itu berada pada posisi yang absah untuk diakui keberadaannya sebagai bagian dari Islam, yang posisinya setara, sederajat. Karena itu, gagasan semisal pribumisasi Islam dalam konteks Indonesia sebagaimana diungkapkan Gus Dur menjadi sesuatu yang sealur dan seirama dengan ide multikulturalisme.

Baca Juga  Penanaman Nilai Demokrasi yang Berkemajuan Dalam Islam

terkait kompatibilitas Islam dengan keanekaragaman tradisi lokal dengan perspektif multikulturalisme, maka dibutuhkan pendekatan yang tidak semata teologis (normatif), tetapi juga sejarah (historis). M. Arkoun menyebut pendekatan ini sebagai taqlîdiyyah-taifiyyah dan pendekatan târikhiyyah-ilmiyyah. Pendekatan taqlîdiyyah-taifiyyah lebih bersifat eksklusif dan lebih menekankan finalitas dan pemutlakan suatu ajaran agama. Sedangkan pendekatan târikhiyyah-ilmiyyah lebih bersifat aposteriori, empiris, dan openended, dialogis dan toleran tanpa meninggalkan normativitas ajaran agamayang dipeluknya sendiri.

Melihat pola hubungan antara agama universal dan tradisi lokal, setidaknya ada dua hal yang bisa dikemukakan.

Pertama, sebuah agama universal (semisal Islam dan Kristen) memang sangggup memberikan lompatan kesadaran yang semula terpasung pada wilayah lokal menuju kesadaran universal, namun tidak dapat memberikan petunjuk menghadapi persoalan-persoalan lokal. Kesejarahan agama universal yang terkait dengan kelokalannya masing-masing membuat agama universal pada beberapa sisi tetap menjadi milik wilayah asalnya masing-masing. Wilayah asal agama universal bukanlah wilayah prototipe bagi seluruh wilayah penyebarannya. Universalisasi segala unsur agama dengan demikian tidak dapat diberlakukan, kecuali jika wilayah asal agama merupakan wilayah prototipe semisal dunia idea Plato yang memuat segala hal ihwal kehidupan di wilayah mana pun.

Kedua, tradisi lokal tidak pernah sepenuhnya bisa dilenyapkan. Ada bagian-bagian dari tradisi lokal (ikon atau konsep) yang terus bertahan dipelihara dan tidak tergantikan oleh ajaran universal. Dengan cara ini dapat dikemukakan bahwa ajaran universal diapropriasi untuk mengisi ruang konsepsi yang pada tradisi lokal masih bersifat terbatas, sedangkan cara-cara hidup di ruang lokal tetap menggunakan tradisi lama.

Editor: An-Najmi Fikri R