Keberadaan agama-agama (selain Islam) tak terbantahkan oleh al-Qur’an. Karena ia beragam, maka perbedaan dalam menjalankan dan mengekspresikan keyakinannya pun tak bisa dinafikan. Bagi kalangan sosiolog, agama dianggap sebagai perekat dengan adanya ikatan emosional dan ikatan moral dari lapisan masyarakat yang menjaga nilai, kepercayaan dan kebiasaan yang dijaga bersama.
Problemnya, tak pelak ada bentuk keangkuhan dan kepongahan orang yang beragama dengan tertutup pada ruang perbedaan. Akibatnya kerap atas nama agama mereka melakukan cacian, hinaan bahkan merusak rumah ibadah orang lain. Anehnya, ia dengan bangga merusak rumah ibadah dan mencaci maki keyakinan orang lain dengan mengatas-namakan suara Tuhan dan Nabi.
Mencaci Ajaran Agama Lain dalam Pandangan Al-Quran
Lantas apakah sikap itu dapat dibenarkan? Dalam saduran firman-Nya pada Q.S. al-An’am 108 disebutkan :
Janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.
Ayat ini mengajarkan betapa pentingnya saling menghomarti dan memberi kebebasan pada sesama pemeluk agama. Bentuk menghargai itu dengan larangan mencaci sembahan agama lain. Karena dikhawatirkan mengakibatkan terjadinya disharmonis (ketegangan) terhadap umat Islam dari agama lain.
Larangan itu sangat rasional. Sebab dampaknya bukan saja sekedar menjelekkan agama lain. Tapi dampaknya ke Islam sendiri. Seperti menimbulkan respon buruk sebagaimana Allah katakan: karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.
Dalam penjelasan Qatadah, ayat ini merespon sikap sebagian sahabat Nabi saw yang mengolok-olok sembahan orang-orang musyrik berupa bintang-bintang, pepohonan dan lain-lain yang dapat menjerumuskan kemusyrikan. Kejadian demikian oleh al-Qur’an ditegur agar tidak mencaci dengan alasan mereka akan mencela atau mengolok-olok kembali kepada Tuhan kalian (umat Islam).
Beberapa Pandangan Mufassir
Menurut Wahbah Zuhaili tindakan menghina dan mencaci sembahan agama lain merupakan tindakan yang tak sejalan dengan prinsip al-Qur’an. Alasan Wahbah lebih mengedepankan persoalan mashalat umat beragama di kalangan umat Islam. Ia menegaskan walaupun sikap dan tindakan mencaci agama (tuhan) orang lain dapat mendatangkan mashlahat, tap mudharatnya jauh lebih besar. Maka hal itu pun tidak dapat dilakukan.
Agak senada dengan pesan Ibn Abbas: “Janganlah hai orang-orang muslim untuk menghina atau mencaci tuhan-tuhan orang-orang musyrik mereka yang menyembah selain Allah, ketika itu dapat menumbuhkan kebencian, hinaan dan cacian mereka kepada Tuhanmu, sehingga dengan sikap dan tindakan karena kebodohan mereka dapat memancing sifat amarahmu kepada mereka”.
Pernyataan Ibn Abbas memberikan catatan penting andaikan bentuk perusakan atau hinaan dianggap membawa kebaikan, namun di sisi lain menimbulkan ketegangan, permusuhan dan pertikaian maka harus dijauhi dan ditinggalkan. Sebab yang diharapkan dari setiap sikap dan tindakan bukanlah kebencian, melainkan sifat lemah lembut dan kasih sayang. Logika ini dapat dibenarkan jika melihat kembali perintah Allah kepada Musa dan Harun untuk berlemah lembut dalam menghadapi Fira’un.
Sedangkan menurut Nasir Sa’di mencaci sesembahan mereka yang dapat menjeremuskan pada kemusyrikan dalam melakukan ibadah dasar utama syariah membolehkan demikian. Akan tetapi jika tindakan demikian dapat menimbulkan kerusakan dan permusuhan hendaknya tidak dilakukakn.
Dari sekilas penjelasan mufassir di atas, maka tak ada alasan yang bisa dibenarkan jika kita melukai dan memaki keyakinan orang lain. Menghina atau merusak tempat ibadah agama lain lebih besar dampak buruknya. Maka tak ada jalan yang bisa dilakukan kecuali dengan sikap toleran dan menghargai keyakinan agama lain. Seperti ungkapan Siddharta Gautama, “Kebencian tak berhenti dengan kebencian lagi, hanya dengan kasih sayang dan cinta. Ini adalah aturan yang abadi.”
Editor: M. Bukhari Muslim


























Leave a Reply