Sebagaimana paparan banyak pengamat, tasawuf banyak mendapat kritik oleh karena para ulama fikih menganggap bahwa tasawuf identik dengan kemiskinan. Syarat menjadi sufi seringkali dikatakan harus menjauhi kemewahan dan gemerlapnya dunia (meskipun hal ini kemudian mendapat kritik balik. Sebab tidak semua aliran tasawuf yang terbagi dalam mazhab-mazhab tarekat berpandangan demikian, melainkan hanya sebagian). Dalam keadaan demikian mereka dituntut sabar, qona’ah (merasa cukup), syukur dan tawakkal. Di dalam tasawuf, Islam juga dipahami sebagai keharusan muslim sibuk “mengurusi” Tuhan, padahal Islam diwahyukan agar manusia “mengurusi” diri kemanusiaannya.
Beberapa Kritik Terhadap Tasawuf
Adalah Ibnu Taimiyah salah satu tokoh yang melontarkan kritikan tajam terhadap tasawuf. Tasawuf oleh Ibnu Taimiyah dianggap sebagai ajaran yang membuat orang jadi pesimis, tidak mau berkompromi dengan dunia dan enggan bersosial dengan masyarakat serta lebih memilih ‘uzlah.
‘Uzlah adalah terminilogi dalam tasawuf yang seringkali diartikan sebagai pemisahan diri seorang manusia dari keramaian orang dan lari ke hutan atau tempat yang sepi agar mereka bisa nyaman dan nikmat dalam beribadah kepada Tuhan. Pemahaman semacam inilah yang mendapat kritikan dari para cendekiawan muslim, di antaranya ialah Buya HAMKA.
Buya HAMKA menganggap pengertian ‘uzlah yang demikian tidaklah benar. Bahkan dengan nada sedikit pedas, HAMKA mengatakan bahwa hal itu adalah ‘uzlah-nya orang yang lemah. Kecuali kalau ‘uzlah diartikan untuk menyusun kekuatan baru, dengan program nyata, untuk kemudian merebut kembali tempat yang direbut musuh, tidaklah mengapa. Itu dibenarkan. Sebab ‘uzlah bukanlah lari dari medan perjuangan, melainkan tetap tegak sambil membentengi diri di medan.
Selaian definisi di atas, sebagian ulama yang lain juga memberikan pengertian yang positif tentang ‘uzlah. Mereka mengartikan ‘uzlah sebagai upaya menjauhkan diri daripada kejahatan dan pemangku kejahatan itu dengan hati dan perbuatan. Makanya dari sini tampaklah bahwa ‘uzlah bukanlah lari. ‘Uzlah bukanlah melepaskan diri dari tanggung jawab. ‘Uzlah ialah memperteguh disiplin diri dari gelombang kemaksiatan atau kemungkaran yang tengah merajalela. (HAMKA, Renungan Tasawuf, hal. 155)
Selain ‘uzlah, praktik tasawuf lain yang juga mendapat kritik ialah zuhud. Dalam banyak orang, zuhud sering diartikan tidak bekerja dan menjauhi segala hal yang bersifat duniawi. Inilah yang kemudian melahirkan analisis bahwa tasawuf menjadi salah satu faktor yang menjadikan dunia Islam mundur. Melihat definisi yang keliru itu, maka datanglah pemikir-pemikir yang mencoba merekonstruksi pemahaman atau definisi mengenai zuhud.
Rekonstruksi Makna Zuhud
Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa kezuhudan tidak identik dengan kemalasan, kelemahan, ketidakberdayaan, dan hilangnya peran seorang hamba dalam kehidupan. Zuhud harus diartikan bahwa umat Islam tetap bekerja keras memperoleh dan menanfaatkan dunia, tetapi tidak sampai pada level mencintai dunia secara berlebihan. Seorang zahid tetap memiliki harta dunia, tetapi tidak membiarkannya menempati hati. (HAMKA: 2018)
Hanya dengan pemahaman zuhud demikian, umat Islam tetap bisa bekerja dan mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Yang dengan harta yang banyak itu ia bisa gunakan untuk membantu sesama manusia atau untuk keperluan pembangunan sarana sosial seperti sekolah, madrasah, pesantren atau rumah sakit.
Nah, inilah pemahaman tasawuf yang saya maksud dengan konsep tasawuf berkemajuan. Menghapus stereotip bahwa tasawuf itu anti-sosial dan menjadikan Islam mundur. Tasawuf tidak menarik seseorang dari dunia dan membuatnya hanya asyik dengan urusannya pribadi. Justru mendorong umat Islam untuk terlibat aktif dalam kegiatan sosial dan kemanusiaan.
Tasawuf diarahkan bukan saja terbatas pada membentuk kesalehan individual, tetapi juga kesalehan sosial dengan menanamkan kembali sikap positif terhadap kehidupan dunia dan membentuk karakter manusia seutuhnya sebagaimana yang dicontohkan Nabi Muhammad. Dan inilah yang dilakukan oleh Muhammadiyah selama ini. Yaitu aktif dalam memberikan layanan pada masyarakat.
Misalnya, dalam hal kesehatan Muhammadiyah mendirikan rumah sakit. Dalam hal pendidikan Muhammadiyah institusi pendidikan seperti universitas, sekolah serta pesantren. Bahkan akhir-akhir ini juga turut serta menolong korban gempa yang berada di Palu dan Donggala dengan MDMC yang ia punya. Pada pola yang seperti ini, tasawuf ikut dalam menumbuhkan kepekaan sosial terhadap sesama.
Konsep tasawuf yang berciri mahabbatullah (cinta pada Allah) harus diimbangi dan ditopang dengan mahabbah an-nas (cinta pada manusia). Sehingga dapat keseimbangan antara kesalehan personal dan kesalehan sosial. Dengan mengamalkan tasawuf yang berkemajuan seperti itu, Muhammadiyah tetap tidak akan tercerabut dari visinya sebagai organisasi yang mengedepankan Islam Berkemajuan. Semangat tasawufnya tidak hanya sibuk “mengurusi” Tuhan, tapi juga menjalankan kewajibannya sebagai makhluk sosial
Tawaran
Sebagai tawaran, melalui tulisan yang sederhana ini penulis menginginkan agar warga Muhammadiyah tidak lagi phobia terhadap tasawuf. Memang tidak mudah. Makanya diperlukan bantuan berupa sosialisasi dari Pimpinan Pusat tentang tasawuf yang benar dan sesuai dengan spirit Islam Berkemajuan. Sebab tasawuf sangat diperlukan dalam kehidupan kita sebagai control agar tidak terjerembab pada kecintaan yang berlebihan terhadap dunia dan menjadikan hati bersih dari berbagai penyakit yang dapat mengotorinya.
Di daerah Palu, misalnya, anggota-anggota Muhammadiyah lumayan banyak yang hijrah ke salafi. Mereka tidak menemukan apa yang mereka butuhkan di Muhammadiyah, yakni spiritualitas. Kajian-kajian Muhammadiyah dianggap terlampau elit dan berat, sehingga tidak banyak yang tertarik mengikutinya. Muhammadiyah harus menjawab kebutuhan tersebut dengan mengadakan kajian spriritual. Dan spiritulitas itu hanya dapat kita temukan dalam tasawuf.
Oleh karenanya tasawuf harus senantiasa digelorakan di warga persyarikatan demi mengisi kegersangan spiritual. Tentunya tasawuf sebagaimana yang telah digariskan al-Qur’an dan sunnah serta yang sesuai misi Muhammadiyah, yaitu Islam Berkemajuan. Tidak mesti dengan program yang muluk-muluk, cukup dengan masing-masing pimpinan Muhammadiyah baik di tingkat pusat, wilayah, daerah dan ranting mengadakan kajian tentang tasawuf dan spiritual baik dalam kurun seminggu atau sebulan sekali. Dengan demikian, warga Muhammadiyah diharapkan bisa memiliki hati yang bersih dan tidak kering secara spiritual.
*Tulisan ini merupakan kelanjutan dari tulisan “Mengapa Muhammadiyah Disebut Anti Tasawuf?” yang pernah diterbitkan di IBTimes.ID (12/9/2019)

























Leave a Reply