Tajdeed.id Kanal Tafsir Berkemajuan

Keadilan Gender dan Supremasi Laki-Laki

Laki-laki
Sumber: freepik.com

Jika kebudayaan adalah realitas kehidupan masyarakat manusia yang meliputi tradisi-tradisi, pola perilaku manusia keseharian, hukum-hukum, pikiran-pikiran, dan keyakinan-keyakinan, maka kebudayaan yang tampak di sekitar kita secara umum masih memperlihatkan dengan jelas keberpihakannya pada kaum laki-laki. Orang boleh menyebutnya sebagai budaya patriarki.

Dalam kebudayaan ini, memapankan peran laki-laki untuk melakukan dan menentukan apa saja, disadari atau tidak, mendapatkan pembenaran. Sebaliknya, kaum perempuan berada dalam posisi subordinat. Ia menjadi bagian dari laki-laki dan menggantungkan nasib hidupnya kepada laki-laki. Otonomi perempuan berkurang.

Pada gilirannya, keadaan ini sering kali terbukti melahirkan sebuah proses marjinalisasi, bahkan juga eksploitasi dan kekerasan atas kaum perempuan. Ini terjadi dalam segala ruang, baik domestik maupun publik.

Pada ruang publik, pekerjaan dan keringat kaum perempuan di kantor-kantor dan di pabrik-pabrik atau di sawah-sawah, dinilai dan dihargai lebih rendah dari yang diperoleh kaum laki-laki. Bahkan, pekerjaan- pekerjaan yang diberikan kepada perempuan justru pada sektor-sektor yang tidak membutuhkan kecerdasan dan keterampilan tinggi.

Bagi perempuan yang bersuami, pekerjaan yang dilakukan hanya dianggap sebagai sambilan karena tugas utamanya adalah mengurus hal- hal domestik. Itu pun sebatas, apabila diizinkan oleh suaminya, karena diperlukan untuk mencari tambahan penghasilan. Yang justru paling menyedihkan adalah fakta yang diungkapkan Hasil Penelitian BPS tahun 1995 yang menyebutkan bahwa hampir 50% perempuan di pedesaan bekerja sebagai pekerja yang tidak dibayar.

Lebih dari itu semua, peran perempuan dalam wilayah publik/politik juga masih dibatasi. Meskipun telah terjadi perubahan lebih maju, masih banyak pikiran-pikiran di masyarakat yang memandang perempuan tidak patut memosisikan diri sebagai penentu kebijakan atau pengambil keputusan di sektor publik yang di dalamnya terdapat kaum laki-laki.

Ketika dihadapkan pada pilihan untuk menentukan laki-laki atau perempuan yang pantas menjadi pemimpin organisasi atau komunitas masyarakat maka pandangan yang muncul sering kali menafikan perempuan. Pandangan yang dianggap lebih toleran adalah bahwa selama masih ada laki-laki maka laki-laki adalah yang paling tepat.

Fenomena, realitas, dan fakta-fakta sosial budaya sebagaimana dikemukakan di atas memperlihatkan dengan jelas adanya relasi laki-laki dan perempuan yang asimetris, timpang, tidak setara, dan diskriminatif. Inilah yang oleh kaum feminis sering disebut sebagai ketidakadilan gender. Dewasa ini ketimpangan- ketimpangan gender tersebut tengah menghadapi gempuran-gempuran hebat oleh apa yang dinamakan gerakan feminis.

Baca Juga  Komparasi Tafsir Syi’ah: Tafsir Al-Qummi dan Tafsir Majma’ al-Bayan

Kerancuan Memahami Akar Masalah

Kaum feminis melihat ada kerancuan atau bahkan kekeliruan pemahaman atau pandangan masyarakat mengenai hakikat hubungan sosial yang melandasi subordinasi kaum perempuan dan akibat-akibat yang ditimbulkannya. Pada umumnya, orang melihat perempuan sebagai makhluk yang lemah, sementara laki-laki kuat; perempuan emosional, laki-laki rasional, perempuan halus, laki-laki kasar dan seterusnya. Perbedaan-perbedaan ini kemudian diyakini sebagai ketentuan kodrat, sudah dari sana nya, atau merupakan pemberian Tuhan. Oleh karena itu, ini bersifat tetap dan tidak dapat diubah.

Mengubah hal itu dianggap sebagai menyalahi kodrat atau bahkan menentang ketentuan Tuhan. Gambaran-gambaran tentang laki-laki dan perempuan demikian ini berakar dalam kebudayaan masyarakat. Dalam pandangan kaum feminis, Sifat- sifat sebagaimana disebutkan itu tidak lain merupakan sesuatu yang dikonstruksi secara sosial dan budaya.

Dalam arti lain, ia dibuat oleh manusia sendiri, bukan oleh keputusan Tuhan. Fakta-fakta sosial menunjukkan dengan jelas bahwa sifat-sifat tersebut dapat berganti, dipertukarkan, atau berubah menurut waktu, tempat, dan kelas sosial. Inilah yang oleh mereka disebut sebagai perbedaan gender. Atas dasar ini, sebagai sesuatu yang bersifat sosial dan dibuat oleh manusia maka ada kemungkinan-kemungkinan bagi manusia untuk mengubah atau mempertukarkannya sesuai dengan konteksnya.

Konsep ini harus dibedakan dengan konsep jenis kelamin (seks). Konsep jenis kelamin melihat perbedaan laki-laki dan perempuan semata- mata dari segi biologis, seperti perempuan mengandung, melahirkan, dan menyusui, sementara laki-laki punya penis, sperma, dan kolo menjing. Pada konsep yang disebut terakhir ini, perbedaan-perbedaan laki-laki dan perempuan benar-benar bersifat kodrati, ciptaan Tuhan, karena itu bersifat tetap dan tidak berubah. perbedaan gender telah menciptakan ketidakadilan, terutama terhadap perempuan.

Ketidakadilan gender merupakan sistem atau struktur sosial di mana kaum laki-laki atau kaum perempuan menjadi korban. Ketidakadilan gender termanifestasikan dalam bentuk marjinalisasi, proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak perlu berpartisipasi dalam pembuatan atau pengambilan keputusan politik, stereotipe, diskriminasi, dan kekerasan.

Baca Juga  Mahir Fikih Ibadah, Ingkar Fikih Lingkungan

Dengan memahami persoalan perbedaan gender ini, diharapkan muncul pandangan- pandangan yang lebih manusiawi dan lebih adil. Perempuan berhak memiliki akses sepenuhnya untuk berpartisipasi di bidang politik, ekonomi, sosial dan intelektual serta dihargai sebagaimana kaum laki- laki. Sebaliknya, kaum laki-laki juga bisa atau terbuka kemungkinan untuk berpartisipasi penuh di rumah dan ikut merawat anak-anaknya.

Dihadang Pikiran-Pikiran Keagamaan

Akan tetapi, memahamkan persoalan-persoalan gender, berikut implikasinya ke tengah-tengah masyarakat, benar-benar menghadapi kesulitan luar biasa, terutama ketika harus berhadapan dengan pikiran- pikiran keagamaan. Lebih-lebih apabila pikiran-pikiran keagamaan itu disampaikan oleh mereka yang oleh masyarakat dipandang sebagai pemilik otoritas kebenaran. Apalagi jika pemegang otoritas kebenaran tersebut menyampaikannya secara konsensus. Kesulitan lebih jauh lagi adalah ketika pikiran-pikiran tersebut telah menjadi keyakinan keagamaan atau diyakini sebagai agama itu sendiri.

Penelitian terhadap sumber-sumber otoritas pemikiran keagamaan menyimpulkan bahwa pengertian tentang adanya perbedaan antara seks dan gender benar-benar belum dapat diterima sepenuhnya. Sejumlah besar ulama (istilah yang biasa digunakan untuk pemegang otoritas dalam wacana pemikiran Islam) tetap memandang bahwa laki-laki memang menempati posisi superioritas atas perempuan. Laki-laki lebih unggul daripada kaum perempuan. Keputusan ini dihubungkan dengan pernyataan Al-Qur‘an:

“Kaum laki-laki adalah pemimpin atas kaum perempuan, disebabkan Tuhan telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS. an-Nisa [4]: 34).

Az-Zamakhsyari (467-538 H.), pemikir muslim paling liberal dengan sejumlah keahlian, menyatakan bahwa laki-laki memang lebih unggul daripada perempuan. Keunggulan itu meliputi akal (al-‘aqi), ketegasan (al-hazm), semangat (al-‘azm), keperkasaan (al-quw- wah), dan keberanian atau ketangkasan (al-farusiyyab wa ar-ramy). Oleh karena itu, katanya, kenabian, keulamaan, kepemimpinan besar yang bersifat publik (al-imamah al-kubra) dan jihad hanya diberikan ke- pada laki-laki.

Fakhruddin ar-Razi, pemikir besar Sunni, mem- percayai superioritas laki-laki atas perempuan dengan sejumlah alasan: ilmu pengetahuan (al-‘ilm) dan ke- mampuan (al-qudrah). Katanya, akal dan pengetahuan laki-laki lebih banyak (luas) dan kemampuan mereka untuk melakukan kerja keras lebih prima (dari- pada perempuan). Ini semua merupakan sifat-sifat yang hakiki.

Baca Juga  Ide Roland Barthes, 'Idul Adha, dan Penghambaan yang Paripurna

Supremasi laki-laki atas perempuan juga dinyatakan oleh Ibn Katsir, pemikir Islam terkemuka. Katanya: “Laki-laki memimpin perempuan, dialah pemimpin, pembesar, hakim, dan pendidiknya karena secara inheren (nafiiht) laki-laki memang lebih utama dan lebih baik.” Di sinilah persoalannya, mengapa, katanya lagi, kenabian dan kekuasaan tertinggi hanya diberikan kepada laki-laki.

Muhammad Abduh, pemikir Islam kontemporer terkemuka, menurut muridnya, Rasyid Ridha, juga mengikuti pikiran yang sama dengan para pendahulunya. Menurutnya, Allah telah memberikan kepada laki-laki kekuatan yang tidak diberikan-Nya kepada perempuan. Jadi, ini merupakan fitrah. Kelebihan lain adalah karena laki-laki diberi beban memberikan nafkah kepada perempuan. Ini bersifat kasbi (usaha manusia). Jadi, bersifat gender.

Mengharapkan Keadilan Gender

Sekarang ini kita semua melihat bahwa kehidupan masyarakat manusia sedang menuju pada tuntut- an-tuntutan demokratisasi, keadilan, dan penegakan hak-hak asasi manusia. Semua tema ini meniscayakan adanya kesetaraan manusia. Dan, semua ini merupakan nilai-nilai yang tetap diinginkan oleh kebudayaan manusia di segala tempat dan zaman. Tuhan juga tentu menghendaki semua nilai ini terwujud dalam kebudayaan manusia.

Oleh karena itu, nilai-nilai tersebut seharusnya menjadi landasan bagi semua kepentingan wacana-wacana kebudayaan, ekonomi, hukum, dan politik. Dengan begitu, dalam wacana- wacana ini diharapkan tidakakan lagi ada pernyataan- pernyataan yang memberi peluang bagi terciptanya sistem kehidupan yang diskriminatif, subordinatif, memarjinalkan manusia, siapa pun orangnya dan apa pun jenis kelaminnya, laki-laki ataupun perempuan. Dalam hal ini, Nabi Muhammad Saw. bersabda:

“Sesungguhnya Allah tidak melihat fisik dan rupa kamu, tetapi Dia melihat hati dan amal per- buatan kamu.” (H.R. Muslim).

Sebab, yang paling utama di antara manusia adalah tingkat ketaqwaannya kepada Allah.

‘Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.” (QS. al-Hujurat [49]: 13).

Penyunting: M. Bukhari Muslim