Rasulullah SAW pernah bersabda yang artinya “Dunia ini sebagai penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir.” (HR. Muslim). Berangkat dari hadits tersebut, Kyai Ali memberikan penjelasan bahwa ada sebagian dari umat Islam beranggapan bahwa syarat sebagai orang mukmin adalah menjadi orang miskin dan serba kekurangan. Apalagi banyak orang Islam yang menghubungkan hadits tersebut dengan doa nabi: “Allahumma Ahyinii Miskiinan, wa Amitni Miskiinan, wahsyurni fi jumratil masaakiin.” Artinya: Ya Allah! Hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, matikanlah aku dalam keadaan miskin dan kumpulkanlah aku (pada hari kiamat) dalam rombongan orang-orang miskin.
Dengan menghubungkan hadits dan doa tersebut, sebagian umat Islam menganggap bahwa kehidupan dunia tidak penting dan mulai meninggalkan kehidupan dunia. Padahal ketika dimaknai secara mendalam, anggapan seperti itu kurang pas. Karena Rasulullah juga pernah berdoa memohon untuk diberikan kekayaan. Kemudian mengapa Rasulullah berdoa seperti itu?
Menurut penjelasan Kyai Ali, kata Miskiinan merupakan lafadz satu namun memiliki banyak makna. Makna kata Miskiinan yang pertama adalah kekurangan harta. Lalu makna kata Miskiinan yang kedua adalah Mutawadhi’an yang memiliki arti orang yang rendah hati. Menurut kaidah, apabila ada satu kata yang mempunyai makna lebih dari satu, maka yang dipakai hanya satu. Maka dari itu, kata Miskiinan dalam doa tersebut mempunyai makna rendah hati. Mengapa tidak dimaknai dengan kekurangan harta? Karena nabi sendiri pun pernah berdoa untuk meminta kekayaan kepada Allah.
Dunia Merupakan Penjara Bagi Orang Mukmin
Kyai Ali mengatakan bahwa isi hadits tersebut meliputi empat hal. Yang pertama adalah kenikmatan yang ada di dunia sangat sedikit daripada kenikmatan yang ada di akhirat. Begitupun penderitaan yang ada di dunia ini sangat kecil dibandingkan penderitaan yang ada di akhirat. Maka dari itu, orang mukmin yang serba berkecukupan masih menganggap dunia sebagai penjara, berbeda dengan orang kafir, seburuk apapun kehidupannya di dunia, mereka masih menganggap bahwa dunia ini merupakan tempat yang penuh kenikmatan. Yang kedua adalah orang mukmin ketika hidup di dunia mempunyai beban kewajiban untuk selalu mengontrol hawa nafsunya, sedangkan orang kafir hidup mengikuti hawa nafsu sehingga urusannya melampaui batas.
Yang ketiga adalah ketika orang mukmin hidup di dunia mempunyai beban tanggung jawab atas perintah dan larangan agama. Maka dari itu, di dalam Al-Qur’an Allah selalu memanggil orang-orang mukmin dengan kata “Yaa Ayyuhalladzina Aamanuuu” selalu diikuti dengan panggilan untuk melaksanakan perintah dan juga ada panggilan untuk meninggalkan larangan. Bisa diambil kesimpulan bahwa orang mukmin mempunyai tanggung jawab yang amat besar untuk melaksanakan perintah agama dan menjauhi larangan agama. Berbeda dengan orang kafir, orang kafir tidak mempunyai beban agama sehingga tidak perlu melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah.
Yang keempat adalah orang mukmin ketika berada di dunia selalu diberikan ujian oleh Allah. Sebagaimana di dalam QS. Al-Ankabut ayat 1-2, di dalam ayat tersebut Allah akan memberikan ujian secara terus menerus kepada orang-orang mukmin untuk menguji seberapa bagus kualitas keimanan yang dimilikinya. Ujian yang diberikan oleh Allah kepada orang mukmin bukan hanya memiliki imbalan pahala saja, tetapi memiliki imbalan dengan dihapuskannya dosa dan diangkat derajatnya. Kyai Ali pun menambahkan bahwa Allah akan menguji seseorang sesuai dengan kadar keimanannya, tapi perlu digaris bawahi bahwa ujian yang diberikan oleh Allah adalah satu bentuk cinta kepada hamba-Nya.
Sikap Manusia Kepada Kehidupan Dunia
Secara garis besar, terdapat tiga sikap yang dimiliki manusia kepada kehidupan dunia. Yang pertama adalah Ifrath (berlebih-lebihan) dalam mencintai dunia. Di dalam kehidupan dunia mereka selalu tertuju kepada harta dan tahta seolah-olah mereka diperbudak oleh dunia. Yang kedua adalah Tafrith (meremehkan) kepada kehidupan dunia. Di dalam kehidupan dunia mereka mengabaikan dan menjauhkan diri dunia.
Mereka mempunyai alasan bahwa kehidupan dunia adalah hina di mata Allah sehingga ketika hidup di dunia selalu dilanda kemiskinan dan kesengsaraan. Yang ketiga adalah Wasathan (pertengahan) dalam menyikapi kehidupan dunia. Mereka memikirkan dunia dan juga tidak lupa memikirkan akhirat. Sikap yang terakhir inilah sikap yang terbaik diantara kedua sikap diatas dalam menjalani kehidupan dunia.
Editor: An-Najmi Fikri R



























Leave a Reply