Tajdeed.id Kanal Tafsir Berkemajuan

Sahiron: Empat Cara Mengantisipasi Matinya Kepakaran Tafsir

perang

Dr. Phil. Sahiron menyebutkan bahwa di tengah berkembangnya arus informasi saat ini, kepakaran menjadi sesuatu yang terancam. Pada google misalnya. Kita dapat mencari informasi yang sebanyak-banyaknya. Google menjadi wadah informasi yang bebas diakses siapa saja. Hal ini tentu mengkhawatirkan. Sebab akan banyak kepakaran-kepakaran yang terancam punah, termasuk di dalamnya kepakaran soal tafsir. Perkembangan IT (informasi dan teknologi) menciptakan suatu paradoks. Di satu sisi memberikan kemudahan bagi masyarakat, namun di sisi lain membuat kita susah untuk mendeteksi mana orang-orang yang betul pakar.

Hal ini ia sampaikan dalam kegiatan webinar yang digelar oleh Program Studi Ilmu Hadis IAIN Sultan Amal Gorontalo dan Akurat.co kemarin pagi (24/8). Diskusi itu mengangkat tema bertajuk “Mengantisipasi Matinya Kepakaran Tafsir di Era Disrupsi”.

Beberapa Faktor yang Menggeser Kepakaran di Bidang Tafsir

Menurut dosen tafsir UIN Sunan Kalijaga tersebut, ada beberapa hal yang menggeser kepakaran di bidang tafsir. Hal itu antara lain adalah perkembangan IT dan keberadaan al-Quran terjemah. Perkembangan IT, kata Sahiron, memang membawakan banyak kebaikan bagi masyarakat. Namun di sisi lain juga memiliki efek-efek negatif.

“Dari satu sisi masyarakat kita semua mendapatkan kemudahan karena kemajuan IT. Tapi di sisi lain kita tidak lagi bisa atau tidak lagi begitu cepat memahami siapa sebenarnya yang pakar dalam bidang tertentu, termasuk dalam bidang ilmu tafsir. Karena setiap orang bisa saja mengakses ilmu itu melalui internet. Ya meskipun sumbernya bisa saja dipercaya, bisa saja juga tidak.”, ujarnya.  

Bukan hanya IT, keberadaan al-Quran terjemah juga demikian. Di satu sisi memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk memahami al-Quran, namun juga di sisi lain memberikan dampak yang cukup buruk.

Baca Juga  Mohon Doa, Ustadz Yusuf Mansur Terbaring di Rumah Sakit

“Hanya melalui terjemahan, kemudian mereka menyimpulkan sendiri. Lalu di dalam menyimpulkan itu mereka sebenarnya tidak mengetahui ushul fikih, tidak mengerti ‘ulumul quran, tidak mengerti ‘ulumul hadits, umpamanya kayak begitu. Terjemahan dipakai, digunakan lalu difahami tanpa perangkat ilmu pengetahuan yang cukup tentang keislaman, lalu melakukan tindakan-tindakan tertentu yang sesuai dengan pemahamannya masing-masing.”, lanjutnya

Sebenarnya hal itu boleh-boleh saja menurutnya. Sepanjang yang dihadapi adalah ayat-ayat yang jelas dan tidak memerlukan penafsiran panjang. Akan sangat berbeda jika sudah berhadapan dengan ayat-ayat yang sukar dipahami, ayat-ayat mutasyabihat, dan terkhusus lagi ayat-ayat yang berkaitan dengan perang. Pemahaman yang literalis dan hanya bermodal al-Quran terjemah hanya akan menimbulkan akibat yang fatal.

Empat Cara Mengantisipasi Matinya Kepakaran Tafsir

Ketua Asosiasi Ilmu al-Quran dan Tafsir itu mengatakan, pemahaman masyakakat yang literal atas sumber-sumber keislaman seperti al-Quran dan hadis tidak dapat kita pangkas seluruhnya. Karena itu kembali kepada diri masing-masing. Hal-hal yang paling tidak dapat kita lakukan untuk mencegah pemahaman yang leterlek itu ialah:

Pertama, mengembangkan pusat-pusat studi al-Quran dan tafsir. Baik itu di tingkat pesantren ataupun di tingkat universitas. Pusat-pusat studi itu hendaknya menggiatkan kajian-kajian tentang ‘ulum ‘al-Quran dan ‘ulum at-Tafsir. Tidak cukup sampai di situ, Sahiron juga menganjurkan agar pusat-pusat studi al-Quran dan tafsir tersebut harus didesain sebagus mungkin. Agar orang-orang tertarik untuk datang dan mengunjunginya.

Kedua, perlu kreatifitas. Ia mengingatkan kepada para penggiat kajian tafsir al-Quran agar jangan sampai ada yang menganggap bahwa penafsiran sudah selesai. Seluruh penggiat kajian tafsir harus memahami bahwa al-Quran itu shalihun lii kulli zaman wa makan. Karenanya selalu dibutuhkan penafsiran ulang. Penafsiran yang tentunya sesuai dengan semangat zaman.

Baca Juga  Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 36-38: Diturunkannya Manusia ke Bumi (2)

Bukan hanya perlunya kreatifitas, dosen tafsir UIN Sunan Kalijaga tersebut juga menghimbau agar para penggiat kajian tafsir juga turun dan terjun langsung dalam melakukan penafsiran terhadap al-Quran.  

Ketiga, melakukan regenerasi. Ia mengharapkan kapada para ahli tafsir yang masih hidup saat ini supaya tidak menikmati ilmunya sendiri. Para ahli tersebut harus melakukan regenerasi. Agar ilmu yang dimilikinya tidak hanya berhenti pada dirinya sendiri, tapi juga diteruskan kepada yang umurnya lebih di bawah. Karena hanya dengan cara seperti itulah ilmu dan kepakaran dalam bidang tafsir akan terus hidup dan dapat terwarisi.

Keempat, cara yang dapat kita lakukan untuk mengantisipasi pemahaman yang literal tersebut adalah dengan menguasai IT.

“Kita ahli-ahli Quran dan tafsir, atau paling tidak anak-anak muda, murid-murid kita ini harus pintar IT. Lalu apa yang kita lakukan, kreatifitas yang kita lakukan dalam bentuk penafsiran, itu kemudian diinformasikan secara publik atau secara luas melalui IT.”, tutupnya.

Reporter: Muhamad Bukhari Muslim