Ustadz Fathur mengatakan bahwa di zaman milenial seperti sekarang ini ada banyak persoalan hidup yang di lapangkan jalannya, dimudahkan pencapaiannya oleh Allah Ta’ala. Tetapi dibalik itu ada lebih banyak lagi orang-orang yang sulit untuk menemukan kebahagiaan.
Ada orang yang kaya raya, namun tidak bisa tidur dengan nyenyak. Ada orang berpangkat tinggi tetapi selalu diliputi oleh rasa kecemasan. Rumahnya mewah, besar, kendaraannya bagus, tetapi dia tidak merasa nyaman dengan tetangga dan seterusnya. Seakan semua pencapaian yang bersifat materi, akan selalu ada yang hilang didalamnya. Yang hilang ini adalah kebahagiaan yang hakiki di kehidupannya.
“Padahal dahulu para ulama kita mengatakan bahwa beribadah dan selalu memohon pertolongan kepada Allah Ta’ala secara terus menerus itu adalah jalan menuju lapang kebahagiaan yang hakiki, Mengapa demikian?” ujarnya.
Menyoal Makna Ibadah
Ibadah mengandung makna segala apapun yang dikatakan, ucapkan, lakukan secara zhohir atau batin dan segala ucapan atau tindakan yang dicintai oleh Allah Ta’ala. Ini adalah makna ibadah secara umum. Tetapi ibadah yang umum, dalam ruang lingkup dimensi kehidupan, jumlahnya lebih banyak daripada ibadah mahdhah yang murni atau ibadah khusus.
Ustadz Fathur mencontohkan ketika orang olahraga bersepeda tapi dengan tujuan agar badannya kuat, kemudian berniat mencapai ridho Allah Ta’ala dan bisa melakukan aktivitas ibadah dengan baik. Maka bersepeda itu bisa bermakna ibadah.
Pada konteks ini, Islam tidak lagi memandang kemuliaan seseorang dengan ibadah-ibadah tertentu. Ada orang yang ibadah sholat malamnya tidak sekuat orang lain. Tetapi dia memiliki ibadah sosial yang begitu dahsyat dan juga tidak mampu di lakukan oleh orang lain.
“Oleh karena itu, apa yang ada di dalam diri kita untuk menghambakan diri kepada Allah Ta’ala itu kembali kepada keadaan objektif kita masing-masing. Yang kaya beribadah dengan hartanya, yang kuat beribadah dengan badannya dan lain-lain. Jadi, inilah makna ibadah. Seluruh dimensi aktivitas kehidupan, kita niatkan sebagai sarana untuk mencapai kebahagiaan yang hakiki,” jelasnya dalam Kanal Imania TV.
Belum cukup itu, ia menambahkan bahwa dengan selalu meminta pertolongan Allah, seperti yang tercermin di ayat “Iyyakana’ budu wa iyyaka nasta’in” juga memberikan suatu keterangan bahwa kebutuhan kita kepada Allah Ta’ala bersifat abadi.
Tiga Dimensi “Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in”
Ada tiga dimensi dalam ayat ini. Pertama, Iyyaka na’ budu wa iyyaka nasta’in memberikan satu keterangan bahwa di dalam menghambakan diri kepada Allah, seorang muslim harus menunaikan segala apa yang di perintahkan oleh Allah. Sebagaimana yang dikatakan di Surah Adz Zariyat ayat 56 yang berbunyi :
وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Artinya: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”
“Ayat tersebut memberikan suatu makna kepada kita bahwa di dalam melaksanakan segala aktivitas kehidupan itu kita tidak boleh lepas dari segala permohonan dan niat beribadah kepada Allah Ta’ala,” jelas Ustadz Fathur.
Ia menambahkan bahwa di dalam melakukan segala perintah dan di dalam menjauhi segala larangannya, manusia ini bukan malaikat yang seluruh hidupnya digambarkan oleh Allah Ta’ala, tidak ada kata membangkang atas segala perintahnya.
Manusia juga bukan makhluk seperti iblis, yang selalu melakukan semua pembangkangan kepada Allah. Manusia berada di satu titik tarik menarik diantara potensi kemalaikatan yang sangat suci dan potensi iblis yang sangat durhaka.
Kedua, Iyyaka na’ budu wa iyyaka nasta’in, juga merupakan keserasian antara kesyukuran seorang muslim terhadap dimensi uluhiyah yang di wujudkan dalam bentuk menghambakan diri kepada Allah ta’ala dan kesyukuran dimensi rububiyah, yang di wujudkan dalam bentuk permintaan pertolongan kepada Allah Ta’ala.
Dalam proses bersyukur, aspek uluhiyah ini juga tidak hanya berdimensi vertikal, tapi juga horizontal. sebagaimana dalam hadist Rasulullah SAW
وَمَنْ لَمْ يَشْكُرِ النَّاسَ لمَ ْيَشْكُرِ اللهَ
Artinya: “Siapa yang tidak mensyukuri manusia maka dia tidak mensyukuri Allah.” (HR. Abu Daud dan At-Turmuzi).
Jadi kesyukuran dalam aspek uluhiah ini juga berkolerasi berhubungan dengan kesyukuran seorang muslim kepada orang lain.
Kesyukuran pada aspek rububiyah pun juga demikian. Seorang muslim tidak bisa lepas dari orang lain. Karena manusia adalah makhluk lemah yang selalu minta pertolongan. Tetapi permintaan pertolongan kepada manusia tentu berbeda dengan konteks pertolongan kepada Allah SWT.
“Kalau meminta tolong kepada manusia atau teman kita, kadang bisa kadang tidak. Tapi ketika meminta tolong kepada Allah Ta’ala, maka yang berlaku adalah kemaha tidak terbatasanya,” jelasnya.
Karena itulah, menurut Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah ini, menghambakan diri kepada Allah Ta’ala adalah ekspresi yang paling otentik dari kesyukuran seorang muslim.
Ketiga, Iyyaka na’ budu wa iyyaka nasta’in juga memberikan satu pesan moral kepada umat Islam betapa manusia itu tidak ada apa-apanya. Manusia itu tidak pantas untuk sombong, tidak pantas melebihkan diri dari orang lain siapapun itu.
Ketika Rasulullah SAW ditanya tentang apa yang disebut dengan kesombongan itu, beliau menjawab: “Orang sombong adalah orang yang menolak kebenaran dan merendahkan orang lain.”. Begitupun dosa yang pertama kali terjadi di alam semesta ini terjadi juga karena dosa kesombongan. Yaitu Iblis yang tidak mau sujud kepada Adam, karena merasa diciptakannya Iblis dari api lebih baik dari Adam yang diciptakan dari tanah.
Ustadz Fathur menegaskan bahwa manusia tidak pernah bisa lepas dari bergantung kepada Allah Ta’ala dan akan selalu memohon pertolongannya. Sebagaimana bunyi firman Allah Ta’ala di Surah Az Zumar ayat 38 dan Al Mulk ayat 20-21.
“Sekali lagi, iyyaka na’ budu wa iyyaka nasta’in. Mari semua kita untuk selalu membersihkan diri kita untuk memurnikan penghambaan diri kepada Allah Ta’ala. Memurnikan pula bagaimana kita untuk selalu memohon segala hajat kehidupan kita hanya kepada Allah Ta’ala. Hanya kepada Allah kita berharap, dan hanya kepada nya kita bertawakkal,” tutup Ustadz Fathur.
Editor: Yusuf


























Leave a Reply