Dalam agama samawi, wahyu menempati posisi sentral sebagai legitimasi bahwa agama tersebut berasal dari Tuhan. Ia sekaligus menjadi sumber pengetahuan, bersama dengan akal – meskipun pada beberapa doktrin terjadi perdebatan mengenai kedudukan akal terhadap wahyu. Karenanya, persoalan mengenai wahyu merupakan persoalan fundamental dalam agama samawi, termasuk Islam.
Wahyu Dalam Islam
Wahyu sendiri secara bahasa berarti perbicaraan samar-samar yang tidak diketahui oleh orang lain. Dalam al-Qur’an sendiri, kata wahyu digunakan dalam beberapa tempat dengan pengertian yang berbeda-beda, yakni 1) sebagai ilham bawaan dasar manusia, seperti ‘wahyu’ kepada ibu Musa [Q.S. 28:7]; 2) naluri pada binatang, seperti ‘wahyu’ kepada lebah [Q.S. 16:68]; 3) isyarat yang cepat, seperti ‘wahyu’ Nabi Zakaria [QS. 19:11]; 4) bisikan dan tipu daya setan, seperti ‘wahyu’ setan kepada pengikutnya [QS. 6:121]; dan 5) perintah Allah kepada malaikat untuk dikerjakan [QS. 8:12].
Rumusan wahyu, sebagaimana yang ditulis oleh para ulama Madinah dalam kitab Kitab Ushul al-Iman fi Dhau’ al-Kitab wa al-Sunnah, dipahami sebagai pemberitahuan Allah kepada para nabi-Nya mengenai apa yang hendak Dia sampaikan yang berisikan syariat atau kitab suci, baik dengan perantara ataupun tanpa perantara. Sang perantara ini dalam doktrin Islam adalah malaikat Jibril.
Al-Qur’an sendiri menyebutkan dalam surah al-Syura [42]:51 mengenai cara Allah berbicara dengan manusia, dalam hal ini ialah para nabi dan rasul pilihan.
وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلَّا وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولًا فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ ۚ إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ
“Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.”
Tafsir Q.S. al-Najm: 5-18
Manna’ al-Qaththan merangkum dalam bukunya Mabahits fi Ulumi al-Qur’an tentang dua cara malaikat Jibril menyampaikan wahyu. Pertama, melalui suara yang datangnya seperti suara lonceng yang amat memengaruhi faktor kesadaran. Cara ini merupakan cara terberat yang dialami Nabi.
Kedua, malaikat menjelma sebagai seorang laki-laki ketika datang kepada rasul. Kedua cara ini didasarkan pada hadis dari ‘Aisyah yang diriwayatkan oleh Bukhari. Di lain pihak, para mufassir menyebutkan bahwa Nabi pernah dua kali melihat sosok Jibril dalam wujud aslinya ketika menafsirkan QS. al-Najm [53]:5-18.
عَلَّمَهُ شَدِيدُ الْقُوَى (5) ذُو مِرَّةٍ فَاسْتَوَى (6) وَهُوَ بِالأفُقِ الأعْلَى (7) ثُمَّ دَنَا فَتَدَلَّى (8) فَكَانَ قَابَ قَوْسَيْنِ أَوْ أَدْنَى (9) فَأَوْحَى إِلَى عَبْدِهِ مَا أَوْحَى (10) مَا كَذَبَ الْفُؤَادُ مَا رَأَى (11) أَفَتُمَارُونَهُ عَلَى مَا يَرَى (12) وَلَقَدْ رَآهُ نزلَةً أُخْرَى (13) عِنْدَ سِدْرَةِ الْمُنْتَهَى (14) عِنْدَهَا جَنَّةُ الْمَأْوَى (15) إِذْ يَغْشَى السِّدْرَةَ مَا يَغْشَى (16) مَا زَاغَ الْبَصَرُ وَمَا طَغَى (17) لَقَدْ رَأَى مِنْ آيَاتِ رَبِّهِ الْكُبْرَى (18(
Ibn Katsir dalam tafsirnya Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim menafsirkan ayat-ayat tersebut mengutip beberapa riwayat dan pendapat yang menyatakan bahwa penglihatan Nabi yang pertama adalah ketika berada di bumi. Di mana Jibril mendekat kepada Nabi hingga jarak sekira dua busur panah atau lebih dekat daripada itu. Pendapat ini yang diambil oleh ‘Aisyah, Ibn Mas’ud, Abu Dzar, dan Abu Hurairah. Penglihatan yang kedua adalah pada malam mi’raj beliau menuju Sidratul Muntaha.
Adapun Ibn ‘Abbas berpendapat bahwa Nabi yang menyatakan bahwa beliau telah melihat Rabb-nya dengan hati (fuad)-nya dua kali dalam wujud cahaya. Merujuk kepada hadis Nabi yang ia riwayatkan dan ditulis oleh Imam Ahmad, dan hadis lain dalam Sahih Muslim.
Begitu juga dengan Zamakhsyari, seorang mufasir dari kalangan Mu’tazilah. Dengan kitab tafsirnya al-Kasysyaf ‘an Haqaiq al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil (biasa disingkat al-Kasysyaf) ia menyebutkan sebagaimana yang disebutkan oleh Ibn Katsir, bahwa yang dilihat Nabi dalam ayat-ayat tersebut ialah Malaikat Jibril.
Tafsir Ayat Ke-10
Kedua mufasir ini, khususnya dalam menafsirkan ayat ke-10 (ayat yang dalam terjemah literal adalah “maka ia mewahyukan kepada hambanya apa yang ia wahyukan“) menafsirkannya dengan Jibril mewahyukan kepada Nabi Muhammad wahyu dari Allah. Ibn Katsir menuliskan “Jibril mewahyukan kepada hamba Allah –Muhammad- apa yang seharusnya ia sampaikan, maka Allah memberikan wahyu kepada hamba-Nya –Muhammad- melalui Jibril.”
Keduanya juga menyebutkan mengenai riwayat yang diwahyukan dalam ayat tersebut adalah “surga diharamkan bagi para nabi sehingga engkau (Muhammad) memasukinya, dan diharamkan bagi para umat sebelummu hingga umatmu memasukinya.”
Nampaknya, kedua penanfsir di sini sama-sama menisbatkan dhamir “huwa” (ia) berbeda sandaran. Ayat tersebut memiliki 3 dhamir “huwa” (baik yang mustatir dan muttashil) yang tidak disebutkan. Akan tetapi kedua penafsir tersebut menisbatkan ia yang pertama sebagai subyek penyampai wahyu kepada Jibril, ia yang kedua dan ketiga kepada Allah.
Agen Eksternal dan Wahyu Internal
Dalam hal ini, seorang sarjana Barat pengkaji Islam bernama William Montgomery Watt dalam bukunya Islamic Revelation in the Modern World menyoroti penafsiran seperti ini yang dianggapnya tidak konsisten. Menurutnya, penisbatan kata hamba (‘abd) perlu diperhatikan. Tidak mungkin ia dinisbatkan kepada Jibril, pun demikian keyakinan umat Islam, sebab hamba hanya dinisbatkan kepada Allah.
Terlepas dari hal itu, Watt menggarisbawahi kata mewahyukan (awha) yang dalam pengamatannya tidak hanya merujuk kepada penggunaan teknis, melainkan juga non-teknis. Ia mengutip pendapat gurunya, Richard Bell, untuk lebih condong mengartikan kata tersebut dengan saran atau bisikan (suggest dan suggestion).
Indikasi lain dari aspek pewahyuan adalah kata nazzala dan anzala yang bermakna membawa turun atau menurunkan. Menurutnya, term ini yang menuntut adanya perantara dari Tuhan kepada para nabi. Singkat kata, Watt mengajukan beberapa hipotesa mengenai pengalaman wahyu Nabi: 1) Nabi menyadari hadirnya kata-kata tertentu yang hadir di ‘hati’ atau alam bawah sadarnya; 2) kata-kata itu bukan hasil pemikiran alam sadarnya; 3) ia percaya kata-kata tersebut diletakkan oleh agen eksternal yang disebut malaikat; dan 4) ia percaya bahwa itu adalah pesan dari Tuhan.
Kritik Fazlur Rahman
Hipotesa Watt ini juga diamini oleh Fazlur Rahman, seorang pemikir neomodernis muslim. Dalam bukunya yang berjudul Islam, ia mengkritik rumusan ortodoksi Islam yang menekankan bahwa wahyu hadir secara eksternal, yakni disampaikan oleh malaikat secara verbal melalui telinga, dan menyebut rumusan tersebut dipengaruhi oleh doktrin Kristen.
Meskipun sama-sama mempertahankan sifat ‘kelainan’, objektivitas, dan sifat verbal wahyu, namun ia menolak eksternalitas wahyu vis-a-vis Nabi. Ia mengamati bahwa Jibril atau ‘Ruh yang terpercaya’ membawa turun wahyu kepada hati Nabi [QS. 26:194; 2:97]. Ia menyatakan ketidakmampuan intelektual ortodoksi Islam untuk mengatakan bahwa “al-Qur’an adalah firman Allah, dan dalam arti biasa, juga seluruhnya perkataan Muhammad.”
Pernyataan ini di kemudian hari menyulut demonstrasi atasnya yang dianggap mengingkari al-Qur’an. Rahman tidak menolak keberadaan figur malaikat keseluruhannya, ia hanya menolak peristiwa pewahyuan oleh malaikat yang menyerupai manusia.
Rahman menjelaskan bahwa Nabi adalah seorang yang karakter dan perilakunya jauh lebih tinggi dari manusia pada umumnya. Ada kalanya, ia ‘melampaui dirinya sendiri’ dan persepsi kognitif moralnya menjadi sedemikian tajam. Pada saat itulah, Allah mengilhamkan kepadanya ‘satu Ruh dari perintah Kami’ dan terjadi hubungan mekanis antara perasaan, ide, dan kata-kata.
Singkat kata, pada saat-saat seperti inilah Allah memberi wahyu melalui malaikat Jibril kepada hati Nabi sehingga menyatu dengan perasaan, ide, dan kata-katanya, di mana kalimat-kalimat verbalnya diberikan bersama dengan inspirasi itu sendiri.
**
Haidar Bagir pada suatu kesempatan mengumpamakan eksternalitas wahyu. Layaknya seorang tukang pos menyerahkan suatu surat yang sudah jadi kepada penerima dari luar dirinya. Sedangkan wahyu tidak demikian, ia dimasukkan ke dalam hati Nabi. Dengan demikian, wahyu tetaplah bukan ciptaan Nabi, melainkan wahyu yang dihujamkan ke dalam hatinya dan ia mengucapkannya.
Wallahu a’lam
Editor: Ananul NH
























Leave a Reply