Mahmud Syaltut, mantan Syaikh Al-Azhar menulis dalam bukunya Min Tawjihat Al-Islam bahwa tabiat kemanusiaan antara lelaki dan perempuan hampir dapat (dikatakan) sama. Allah telah menganugerahkan kepada perempuan sebagaimana menganugerahkan kepada lelaki potensi dan kemampuan yang cukup untuk memikul tanggung jawab dan menjadikan kedua jenis kelamin ini dapat melaksanakan peran dan aktivitas-aktivitas yang bersifat umum maupun khusus.
Kedudukan Perempuan
Sebelum Islam datang, perempuan sangat menderita dan tidak memiliki kebebasan hidup yang layak. Dalam peradaban Romawi misalnya, wanita sepenuhnya berada di bawah kekuasaan ayahnya, setelah kawin, kekuasaan tersebut pindah ke tangan sang suami. Kekuasaan ini mencakup kewenangan menjual, mengusir, menganiaya, dan membunuh. segala hasil usaha wanita, menjadi hak milik keluarganya yang laki-laki.Dalam Undang-undang India juga perempuan tidak memiliki hak untuk menyukai dan mencintai. Semenjak kecil mereka diharuskan untuk mengikuti kemauan orang tuanya. Pada masa mudanya mereka harus mengikuti kemauan suaminya dan ketika suaminya meninggal mereka harus mengikuti semua keinginan putra-putranya.
Dalam masyarakat Makkah di masa Jahiliah, seorang ayah boleh saja membunuh anaknya sekiranya lahir perempuan. Pada zaman itu ada keyakinan bahwa setiap anak perempuan yang lahir harus dibunuh, karena khawatir nantinya akan kawin dengan orang asing atau orang yang berkedudukan sosial rendah misalnya budak atau mawali. Begitu juga halnya di Eropa, kondisi perempuan tidak lebih baik dari sebelumnya, misalnya pada abad kelima atau sebelas Masehi, di Inggris kaum laki-laki terbiasa menjual istrinya. Penguasa Gereja telah memberikan hak kekuasaan pada para suami untuk memberikan istrinya kepada laki-laki lain untuk sementara waktu, baik dengan mendapatkan upah maupun tidak. Akhirnya perempuan memiliki peran yang terbatas ketika itu.
Begitu Islam datang, perempuan diberikan hak-haknya sepenuhnya yaitu dengan memberi warisan kepada perempuan, memberikan kepemilikan penuh terhadap hartanya, bahkan tidak boleh pihak lain ikut campur kecuali setelah mendapat izin darinya. Dalam tradisi Islam, perempuan mukallaf dapat melakukan berbagai perjanjian, sumpah, dan nazar, baik kepada sesama manusia maupun kepada Tuhan, dan tidak ada suatu kekuatan yang dapat menggugurkan janji, sumpah, atau nazar mereka sebagaimana ditegaskan dalam Q.S. al-Ma‟idah {5}: 89
Perempuan juga diberikan kebebasan secara penuh dalam menentukan pasangan hidupnya, bahkan walinya dilarang menikahkannya secara paksa, maka sebuah pernikahan seorang gadis tidak akan terlaksana apabila belum mendapatkan izin dan persetujuannya. Perempuan dan laki-laki mempunyai kedudukan yang sama di depan hukum, bahkan Islam memberikan hak yang sama kepada perempuan dalam mengakhiri kehidupan berumah tangga yaitu dengan cara “khulu“.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Islam merupakan agama yang sangat menghormati dan menghargai perempuan dan laki-laki di hadapan Allah secara mutlak. Islam menghapus tradisi Jahiliyah yang begitu diskriminatif terhadap perempuan, dalam Islam laki-laki dan perempuan dianggap sebagai makhluk Allah yang setara, bebas ber-tasarruf, kesamaan peran dan bahkan satu sama lain saling melengkapi dan membutuhkan. Beberapa ayat Al-Qur`an menjelaskan bagaimana kedekatan hubungan laki-laki dan perempuan (atau perempuan dengan laki-laki), misalnya dalam ikatan perkawinan, Q.S. al-Rum {30}: 21, Q.S. al-Nisa‟ {4}: 1, dan Q.S. al-Baqarah {2}: 187. Firman Allah dalam Q.S. al-Rum {30}: 21:
Peran Perempuan Dalam Islam
Sebagian orang tua merasa bahwa pendidikan kaum laki-laki lebih diprioritaskan karena memiliki peran dan tanggung jawab yang besar dalam rumah tangga dan masyarakat di kemudian hari, kemudian tidak ada hambatan dalam artian bebas mau kemanapun tanpa ada kekhawatiran yang menimpanya seperti trafficking, pelecehkan dan lain-lain. Maka sebagian orang tua lebih memfokuskan pendidikan anak laki-laki, lalu berusaha menyekolahkannya ke jenjang yang lebih tinggi. Berbanding terbalik dengan pendidikan anak perempuan, yang hanya sekadarnya, karena adanya pandangan bahwa anak perempuan kelak akan ditugaskan di dalam rumah untuk melayani suami dan anak-anaknya.
Kemudian adanya kekhawatiran terhadap mereka kalau disekolahkan ke tempat yang lebih jauh kurangnya rasa aman, perlindungan, dan lain-lain. Kemudian ada juga pandangan bahwa perempuan tidak boleh berpergian melebihi tiga hari kecuali didampingi oleh mahramnya. Kemudian ada ayat al-Qur’an yang dipahami secara literal sehingga dijadikan dasar untuk menghalangi perempuan keluar rumah, seperti Q.S. al-Ahzab: 33.
Konon pada masa Nabi Saw perempuan sangat tekun belajar, mereka meminta agar Nabi memberi waktu tertentu guna belajar, dan permintaan mereka dikabulkan Nabi Saw. Untuk itu perempuan juga dituntut untuk terus belajar dan meningkatkan kualitas diri, apalagi salah satu tugas utama perempuan adalah mendidik anak-anaknya karena memiliki sifat keibuan yang luar biasa, namun bagaimana tugas pokok itu dapat mereka laksanakan secara baik jika mereka tidak diberi kesempatan untuk belajar. Karena tidak cukup hanya dengan mengandalkan kelembutan namun juga dibutuhkan kecerdasan yang dapat diperoleh melalui belajar. Terkadang anak-anak kerap melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang mengagumkan tentang berbagai hal termasuk tentang ketuhanan, alam raya, maka pengetahuan akan hal-hal itu harus dimiliki oleh perempuan. Karena perempuan ibarat sekolah yang apabila dipersiapkan dengan baik, maka mereka akan melahirkan generasi yang cerdas.
Perempuan Berhak untuk Berperan
Memang ada larangan Nabi Saw bagi perempuan untuk berpergian tanpa “mahram”, tetapi larangan itu harus dipahami berdasar illat (motif), bukan sekadar bunyi teksnya. Larangan tersebut disebabkan oleh kekhawatiran terjadinya gangguan terhadap mereka di perjalanan, atau ikut sertanya setan merangsang untuk melakukan dosa, atau timbulnya isu negatif dari kepergiannya sendiri tanpa ditemani oleh mahram. Oleh karena itu kepergian perempuan untuk studi walau tanpa mahram dapat dibenarkan selama terjamin kehormatan dan keselamatannya serta tidak mengundang kemaksiatan. Jadi hadis di atas sifatnya sangat kondisional, jadi perlu disesuaikan dengan kondisi dan keadaan yang berlaku.
Karena itu, perempuan tidak dapat dilarang untuk bekerja sebagaimana sebuah kaidah yang “Dalam hal kemasyarakatan, semuanya sama boleh selama tidak ada larangan, dan dalam hal ibadah murni, semuanya tidak boleh selama tidak ada tuntunan”. Yang mengharuskan perempuan terus menerus berada di rumah bahwa keberadaan di rumah secara terus menerus dinilai oleh al-Qur’an sebagai satu hukuman. An-Nisa` 15.
Perempuan juga diberikan kebebasan secara penuh dalam menentukan pasangan hidupnya. Bahkan walinya dilarang menikahkannya secara paksa, maka sebuah pernikahan seorang gadis tidak akan terlaksana apabila belum mendapatkan izin dan persetujuannya.
Editor: An-Najmi Fikri R


























Leave a Reply