Syekh Abdul Qadir Jailani dalam buku Lorong-Lorong Rahasia (2018) mengartikan makrifat sebagai ilmu batin. Sebagai sebuah ilmu, tasawuf sering dipandang sebagai disiplin ilmu metafisik. Ia bisa diteliti, diketahui setelah pelaku merasakan, mengalami. Namun setiap orang memiliki pengalaman masing-masing dalam merasakan pengalaman batin dalam kehidupan mereka.
Seorang salik, penempuh jalan tasawuf akan menempuh makrifat, sebelum sampai pada tarekat dan hakikat. Nabi Ibrahim adalah nabi yang memberi teladan indah tentang makna makrifat. Ia telah sampai pada sebuah puncak cinta. Ia tidak lagi mendengar saat semua orang mengucapkan bisikan kepada telinganya.
Yang ia dengarkan adalah bisikan kekasihnya. Kesadaran yang ia tempuh saat membangun ka’bah, saat diuji dengan belum hadirnya seorang anak, sampai dengan saat diperintah oleh Kekasih untuk menyembelih puteranya. Ibrahim mengenali kekasihnya, menuruti kekasihnya, menyembah dan kelak bersama Tuhan Yang Maha Kasih.
***
Sufisme memiliki jejak yang panjang dalam Islam. Peranannya diakui di seluruh dunia. Syed Hossein Nasr di bukunya Islam dalam Cita dan Fakta (2015) yang diterjemahkan oleh Gus Dur, menaruh bab tersendiri berkaitan dengan tariqah. “Tidak ada bukti yang lebih jelas tentang hubungan batin antara tariqah dan syariah selain fakta bahwa di berbagai pelosok dunia, Islam tersebar melalui tariqah.”
Candra Malik dalam buku Makrifat Cinta (2012) memberi penjelasan indah tentang makrifat. Makrifat adalah keadaan melihat—setelah kasyaf atau terbuka hijab atau tabir dan tajali atau menerima cahaya. Bagaimana Tuan dikenali dalam makrifat, kita bisa menilik dalam hadist qudsi Rasul bersabda : “Aku jadikan tubuh anak Adam itu qasrun (istana kerajaan diri) yang didalamnya ada shadrun (singgasana kesadaran), yang di dalamnya ada qalbu (mahkota hati) yang didalamnya ada fuad (jantung hati, kearifan diri), yang didalamnya ada syaqaf (mata hati, ketajaman intuisi), yang didalamnya ada lubbun (lubuk hati, desiran) yang didalamnya ada sirrun (rahasia hati, kehendak), yang didalamnya ada Aku.”
Dalam jantung itulah, Candra Malik memberikan penjelasan bahwa saat jantung salat, ia menghadap Tuhan. Dalam setiap detak ketika kita mengagungkan Asma-Nya, maka hidup kita tidak pernah resah apalagi susah.
Saya selalu terkesima saat mendengar Emha berceramah soal “talak dunia”. “Aku berani tidak menjadi apa-apa, apalagi menjadi siapa-siapa.” Saat orang sudah menemukan makrifat, saya rasa orang akan merasakan apa yang sudah dialami oleh Emha. Ketiadaan adalah bagian dari “ada”, sebaliknya, “ada” dari diri kita sejatinya adalah “ketiadaan”.
Abu bakar Atjeh dalam bukunya Sejarah Sufi dan Tasawuf (1987) menuliskan arti makrifatullah : mengenal Allah, kenal kepadanya mengenai zat-Nya, sifat-Nya, dan asma-Nya. Bagaimana mungkin seseorang akan mencintai-Nya, bila tidak kenal dan mau mengenali-Nya. Bahkan dalam hadist qudsi Tuhan berfirman “Aku adalah khazanah yang tersembunyi (kanzun makhfiy). Aku rindu untuk dikenal. Karena itu Aku ciptakan makhluk supaya Aku diketahui.”
Para sufi sering mengatakan bahwa ilmu makrifat datangnya dari Tuhan. Untuk mencari ilmu itu tidak lain adalah mendekat kepada Tuhan. Akan tetapi, melalui kitab dan nabinya, kita bisa merujuk bagaimana ilmu tentang makrifat ini didapat. Ibnu Arabi menulis ihwal ini “Kami lebih dekat padaNya daripada kamu, tetapi kamu tidak mengetahui” (Qur’an 56:83), “Kami lebih dekat dari urat nadinya” (Qur’an, 50:16). Meski sedekat itu Si hamba tidak merasakan atau mengetahui apapun; tidak seorang pun dapat mengetahui apa yang ada dalam dirinya sendiri hingga disingkapkan baginya sedikit demi sedikit.” (Harvey, Andrew, 2018).
Dalam al-Qur’an surah Ali Imran ayat 31 dijelaskan dengan gamblang bagaimana jalan makrifat ditempuh. “Jika kamu benar-benar mencintai-Ku, maka ikutilah Rasul, Maka Aku akan mengampunimu dan menyayangimu.”
Makrifat dan Syariat
Adalah mustahil mencapai hakikat tanpa syariat. Hakikat dicapai dengan ketekunan dan kedisplinan melakukan syariat. Begitu pula syariat belum berarti apapun bila tanpa hakikat. Makrifat ditempuh melalui syariat. Dalam syariat kita dituntunkan bagaimana cara, tahapan dan langkah untuk mencapai makrifat.
Sebagaimana Ibnu Arabi yang mengatakan sejatinya setiap kita merasakan Tuhan begitu dekat, namun terkendala oleh tabir. Dan untuk menyingkap tabir itulah, perlu waktu sedikit demi sedikit, langkah demi langkah.
Ada yang berpendapat bahwa seorang sufi mesti menyendiri dan menghilang dari kerumunan dan keramaian. Ini dilakukan untuk mencapai makrifat. Ada baiknya kita meniru para sufi terdahulu hingga Nabi Muhammad SAW.
Nabi sendiri menjadi imam para sufi dengan menjalani syariat yang teguh. Dalam riwayat yang terkenal Aisyiah pernah bertanya kepada Nabi : “Ya Nabi, mengapa engkau sujud hingga sedemikian rupa, padahal engkau telah dijanjikan diampuni dosanya?”. Nabi pun menjawab “Apakah tidak boleh aku menjadi hamba yang bersyukur.”
Dalam nafas nabi, dalam jantung nabi, asma-Nya selalu terucap. Nabi selalu berdzikir menyebut Kekasih. Dzikir adalah jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Jalan makrifat mustahil ditempuh tanpa dzikir. Dzikir dalam tangga makrifat adalah bagian dari amaliah.
Seorang yang telah mencapai makrifat seperti yang tergambar dalam hadis Nabi : “Mataku tidur, tetapi hatiku jaga”.
Editor: Ananul Nahari Hayunah



























Leave a Reply