Tajdeed.id Kanal Tafsir Berkemajuan

Sembahyang

Sembahyang
Sumber: Unsplash.com

Segala yang di langit, di bumi senantiasa menyebut asma-Nya. Saat merenungi firman Tuhan itu, aku jadi teringat judul puisi Kuntowijoyo “Makrifat Daun, Daun Makrifat”. Betapa aku takjub kepada ayat ini. Ayat yang tidak pilih kasih, ayat yang mengakui dzikirnya makhluk betapapun ragam dzikir dan cara seorang hamba mengagungkan Tuhannya.

Ia tidak membedakan bahasa hewan, bahasa tumbuhan, bahasa tanah, bahasa air, bahasa bintang, bahasa malam, bahasa siang, dan bahasa angin, hingga bahasa embun. Semua diterima oleh Allah, sebagai sebuah seruan cinta seorang hamba.

Raja saja begitu mendengar rakyatnya memujinya, mengelu-elukannya, mengabarkan kebaikan tentangnya, kekuasaannya, dan juga karismanya, ia akan merasa senang. Bagaimana kalau yang disebut dan diagungkan adalah Tuhan, tentu Dia lebih senang. Bila Raja atau manusia masih sering membeda-bedakan perlakuan antara seorang hamba satu dengan yang lainnya, akan tetapi Allah tidak demikian halnya.

Dia memperlakukan sama siapapun makhluk yang mendekat, memuji pada-Nya. Ia menyapa kita dengan menjawab pujian yang kita lantunkan pada-Nya. “Saat engkau mendekat pada-Ku dengan berjalan, aku mendekat padamu, dengan berlari”

Sembahyang Sebagai Bentuk Universal

Saat sembahyang kepada Tuhan, tidak hanya langit yang rukuk, bumi pun ikut serta. Orang Jawa menyebut kata “sembahyang” sebagai bentuk yang universal. Ia tidak hanya sebutan untuk ibadah manusia semata, tetapi juga ibadah makhluk lain. Ada dimensi batiniah yang lebih dari sekadar gerakan. Ada hubungan spiritualitas dan hubungan vertikal saat menyebut kata “sembahyang”. Hubungan cinta Sang Khalik dengan makhluk.

Tidak ada jarak saat “sembahyang”, tidak ada tabir, tidak ada sekat. Orang merasakan percakapan-percakapan batiniah antara Tuhan dengan hamba-Nya dalam “sembahyang”. Islam memiliki sejarah yang kuat saat mengisahkan sejarah “sembahyang”. Nabi, manusia mulia itu dibawa ke perjalanan menakjubkan sepanjang sejarah.

Baca Juga  Tafsir Tematik: Beberapa Makna Sabar dalam Al-Qur'an

Dengan kecepatan yang super, nabi dibawa dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa. Lalu dibawa ke tempat Tuhan bersemayam, Arsy langit ketujuh. Semula orang tidak langsung percaya, ada bantahan. Namun, ada yang langsung mempercayai seperti Abu Bakar saat menyimak kisah Rasul mendapat perintah sembahyang.

Sembahyang dan Sejarah Adzan

Dalam Islam, kisah “sembahyang” menjadi paling unik bukan hanya dari sisi misterinya, tapi juga cara Tuhan memperlakukan hamba-Nya untuk menyerukan cara ibadah untuk memuji-Nya, untuk memohon kepada-Nya.

Islam menyebut “sembahyang” dengan kata “shalat”. Shalat bagi orang islam memiliki kedudukan paling tinggi. Perintah shalat adalah perintah langsung dari Tuhan kepada manusia. Perintah ini tidak melalui tangan Jibril. Ia adalah perintah Tuhan yang disampaikan langsung kepada hamba-Nya melalui Rasulnya.

Dalam sejarah perintah shalat, atau sembahyang kita pun bakal dikejutkan saat mendapati sejarah adzan. Bilal, seorang budak dari kulit hitam dipilih Rasul untuk mengumandangkan panggilan yang mulia itu. Panggilan yang bakal dikenang sampai akhir zaman. Rasul sendiri bahkan, tidak merumuskan teks adzan. Adzan justru dipercayakan kepada Bilal, mantan budak berkulit hitam itu. Dan adzan tidak diwahyukan melalui Jibril.  

Ada semacam keistimewaan, dan juga makna simbolik bahwa Islam tidak membeda-bedakan dan juga memuliakan manusia. Sembahyang tidak hendak memperumit, menyusahkan manusia, tetapi sebagai sebuah fitrah manusia sebagai hamba yang berketuhanan.

Dalam sejarah adzan itulah, kita mendapatkan simbol bahwa adzan memang panggilan untuk sembahyang kepada Allah, menghadap kepada Allah. Namun, teks adzan, seruan adzan adalah dipercayakan kepada manusia. Islam tidak membeda-bedakan antara Nabi, rasul, budak, majikan. Islam mengangkat manusia, mengangkat kemanusiaan dengan menyerahkan Bilal sebagai seorang yang menentukan teks adzan. Saat Bilal kebingungan bagaimana adzan harus dikumandangkan?, maka Rasul memintanya merenungi kehadiran Tuhan dalam episode-episode hidupnya. Pujilah Tuhan, pujilah Rasul, ajaklah manusia meraih kemenangan. Dan kita tahu, teks Bilal itulah yang menggema di seluruh bumi dan bahkan sampai ke langit.

Baca Juga  Mengkaji Takhalli dan Tahalli ala Imam Al-Ghazaliy

Sembahyang dan Bacaan di Dalamnya

Dalam shalat, yang pokok bukan hanya gerakannya, tetapi juga bacaan di dalamnya. Gerakan adalah perwujudan ketundukan secara fisik, namun bacaan adalah ketundukan secara lisan maupun batin. Alangkah mustahil bila seorang khusyuk dalam shalat tetapi tidak mengetahui sedikitpun arti atau makna bacaan. Mohamad Sobary pernah membeberkan bagaimana sembahyang orang desa dalam bukunya Kang Sejo Melihat Tuhan.  

Jangankan mengerti memahami bacaan shalat, bacaannya saja belepotan seperti lidahnya yang kesleo. Tapi sembahyang bagi orang desa seperti Pak Somat, adalah sembahyang yang merasuk ke sanubari. Sembahyangnya mewujud dalam kepasrahan dan kebimbangan. Pasrah kepada Tuhan akan perintah dan juga menjalankan kewajibannya. Bimbang karena ia selalu berharap Tuan menerima shalatnya.

Keutamaan Shalat

Imam Izzudin bin Abdus Salam  (2018) dalam bukunya Maqashidul Ibadat  memberi penjelasan tentang keutamaan ibadah shalat. “Tujuan terbesar shalat adalah memperbarui perjanjian dengan Allah. Shalat juga mencakup beberapa perbuatan hati, lidah maupun anggota tubuh, baik yang wajib maupun sunnah, sesuatu yang tidak tercakup dalam ibadah selain shalat.”

Di dalam shalat itulah, ada percakapan, ada intimitas antara seorang hamba dengan Tuhan. Seorang sufi ternama Rabiah Al Adawiyah dikisahkan tidak pernah berhenti menangis usai shalat dikarenakan kerinduannya yang dalam kepada Tuhan.

Dalam sembahyang, shalat itulah, kita meninggalkan dunia, menuju zat yang paling cinta. Karena itulah shalat pun membawa implikasi pada amaliah kita sehari-hari. Ia akan menebarkan cinta, kasih, dan juga manfaat kepada semua. Bila kita shalat tapi belum mampu menebar cinta tapi justru kebencian dan angkara murka, maka shalat kita ada baiknya kita tilik ulang.

Editor: Ananul N

Arif Saifudin Yudistira. Lahir di Cilacap, 30 Juni 1988. Esais dan Peresensi Buku. Alumnus Universitas Muhammadiyah Surakarta, Pengasuh MIM PK Kartasura, Pegiat Bilik Literasi SOLO. Ketua Sarekat Taman Pustaka Muhammadiyah Rumpun Komunitas. Tuan Rumah Pondok Filsafat Solo