Pada tulisan pertama saya di Tanwir.id, saya pernah menulis keterkaitan Ahmad Dahlan dan Muhammad Abduh. Artikel itu mengulas bahwasanya Ahmad Dahlan tidak akan mampu mendirikan Muhammadiyah kalau bukan pernah belajar ilmu tafsir. Sebagai pendiri Muhammadiyah, Pemikiran Ahmad Dahlan tidak bisa dilepaskan dari pengaruh genealogi keilmuan yang ia dapati juga dari gurunya yaitu Muhammad Abduh.
Kehadiran Muhammad Abduh bagi seorang Ahmad Dahlan telah memperbaharui cara pandangnya dalam berislam, terutama memahami al-Qur’an dan sunnah. Dikenal sebagai tokoh pembaharu Islam dan seorang mufasir, banyak pemikiran Abduh yang diserap oleh Ahmad Dahlan. Terutama ia dapat menafsirkan Q.s ali-Imran 104 dan 110, sebagai cikal bakal dan landasan lahirnya organisasi Muhammadiyah.
Mengenal Muhammad Abduh
Lahir tahun 1266 H/1849 M, Muhammad Abduh dibesarkan di sebuah desa di provinsi Gharbiyah, Mesir. Abduh sejak kecil bersama orang tuanya sering berpindah tempat dari desarnya. Karena pada masa itu, penguasa Mesir bertindak sewenangnya dalam memungut memungut pajak rakyat. Sehingga untuk menghindari hal itu, keluarga Muhammad Abduh sering berpindah-pindah sebelum akhirnya menetap di desa Mallahat al-Nashr.
Walaupun bukan berasal dari keluarga terdidik, Abduh kecil cukup cerdas memperoleh ilmu pengetahuan dari guru-gurunya. Hal ini dapat terlihat ketika ia mampu menghafal al-Qur’an selama dua tahun. Kecerdasannya juga ternyata pernah membuatnya galau terhadap sistem pendidikan yang dijalaninya. Sistem pelajaran yang cenderung menghafal dan doktriner, membuat Abduh putus asa dengan ilmu pengetahuan. Sampai akhirnya dia bertemu dengan pamannya, Syaikh Darwisy yang mengenalkannya ajaran sufi dan mendorongnya belajar ilmu logika dan filsafat di Universitas Al-Azhar. Di sinilah titik bangkit kembali Muhammad Abduh menyelami ilmu pengetahuan lebih dalam.
Di Al-Azhar, Abduh sangat tertarik dengan pengajaran dari Jamaluddin Al-Afghani. Muhammad Abduh menjadi muridnya Al-Afghani dan belajar banyak hal padanya. Pelajaran yang tidak hanya bertumpu pada pengetahuan teoritis, tetapi juga pengetahuan praksis yang membuat Muhammad Abduh juga aktif tulis menulis artikel bersama gurunya tersebut.
Muhammad Abduh adalah tokoh pembaharu yang mereformasi pemikiran-pemikiran Islam di masa modern. Idenya tentang membuka ijtihad seluas-luasnya, telah banyak berpengaruh tidak hanya di Mesir dan di Arab timur tengah, tetapi juga di dunia Islam terutama pada K.H Ahmad Dahlan yang mendirikan Muhammadiyah di Indonesia.
Corak Tafsir Muhammad Abduh
Karya tafsir monumentalnya-Tafsir al-Manar yang ditulis dan dilanjutkan oleh muridnya yaitu Rasyid Ridha, telah membuka corak baru dalam dunia penafsiran al-Qur’an. Menurutnya tafsir yang terfokus pada uraian-urain kebahasaan tidak layak disebut tafsir al-Qur’an, hal itu baginya tidak lebih dari sejenis latihan estetika bahasa atau yang kita kenal dengan meng-i’rab. Abduh menegaskan bahwa tafsir yang dibutuhkan umat Islam sekarang, harus berorientasi pada perwujudan hidayah al-Qur’an dan penyajian yang mudah dipahami oleh pembaca umum.
Tafsir bagi Abduh harus mampu al-ihtida’ bi al-Qur’an (menggali petunjuk dari al-Qur’an) yang kegunaanya bersifat pragmatis kehidupan masyarakat muslim. Karena, baginya al-Qur’an ini akan Allah tanyakan kepada kita di hari akhirat kelak apakah kitab-Nya yang diturunkan menjadi petunjuk dan pedoman atau tidak. Lebih lanjut, kebutuhan zaman sekarang adalah mengeksplorasi tuntunan al-Qur’an. Maka dari itu tujuan orang memahami tafsir al-Qur’an adalah mengupayakan maksud dan tujuan dari firman, hikmah tasyri’, baik dalam ke akidah dan hukum, ke jalan yang mendorong rohani, kemudian menggiringnya kepada perbuatan dan hidayah.
Hal itu yang membuat corak tafsir Muhammad Abduh disebut corak adabi ijtima’I yang berupaya menyingkap keindahan bahasa al-Qur’an kemudian menghubungkannya sebagai jawaban atas persoalan kemasyarakatan. Abduh juga disebut sebagai salah satu pionirnya corak tafsir maqashidi (tujuan kemaslahatan). Karena menurutnya al-Qur’an tidak mungkin bertentangan dengan akal. Keduanya bagai dua sisi dari satu mata uang yang sama. Ini menunjukan bahwasanya penafsiran al-Qur’an harus mampu membumikan petunjuk-petunjuk al-Qur’an dalam mewujudkan kemaslahatan umat.
Genealogi Pemikiran Tafsir Abduh ke Ahmad Dahlan
Perjalanan haji yang kedua Ahmad Dahlan telah membuka cakrawala baru terhadap pemikirannya dalam menemukan metodologi untuk memahami Islam yang sebenarnya. Di saat inilah Ahmad Dahlan banyak mengais pemikiran-pemikiran Muhammad Abduh dalam memahami kembali al-Qur’an dan sunnah. Turunan (genealogi) pemikiran tafsir Muhammad Abduh kepada Ahmad Dahlan dapat kita lihat sebagai berikut:
Pertama, dominasi corak pemikiran Muhammad Abduh adalah meletakkan kedudukan akal setinggi-tingginya dalam memahami nash (wahyu). Bahkan kedudukan akal baginya bagaikan kedudukan seorang Nabi bagi suatu umat. Karena saat itu Abduh ingin membebaskan umat islam dalam kungkungan taklid buta kepada ulama mazhab. Inilah yang Ahmad Dahlan temukan bahwa dalam memahami al-Qur’an dan sunnah maqbullah, penggunaan akal dan hati menjadi sesuatu yang tidak bisa ditolak. Peranan akal untuk membentuk etos baru sebagai strategi menghadapi tantangan modernitas.
Kedua, tafsir al-Qur’an menurut Abduh harus mampu memfungsikan al-Qur’an sebagai hidayah petunjuk (hudan) bagi umat Islam. Abduh berusaha membumikan al-Qur’an agar mampu menjawab problem-problem realitas masyarakat. Mengutip buya Syafi’I Ma’arif, metodologi pemahaman fungsional yang dimiliki Ahmad Dahlan adalah keharusan merumuskan pemahaman ke dalam bentuk aksi sosial. Artinya, pemahaman ayat-ayat al-Qur’an harus bisa mentransformasi kondisi rill masyarakat menjadi lebih baik.
Terlepas dari itu semua, kita dapat menyimpulkan Muhammad Abduh dan Ahmad Dahlan sama-sama menginginkan pemahaman al-Qur’an (tafsir) tidak hanya sekedar pada tataran koginitif saja, tetapi juga menuntut adanya aktualisasi (amal) nyata. Sehingga masyarakat dapat merasakan bahwasanya petunjuk al-Qur’an dapat dirasakan sebenar-benarnya sebagai sebuah kitab yang memang memuat petunjuk dan pedoman hidup. Akhirnya umat Islam akan menyadari bahwa Islam adalah sebagai agama hudan dan rahmatan lil ‘alamin yang berlangsung dalam setiap lini kehidupan masyarakat.
Wallahu ‘alam.


























Leave a Reply