Menyandang status sebagai nabi umat Islam sekaligus nabi akhir zaman membuat kedudukan Nabi Muhammad saw begitu mulia. Tentu saja, perjuangan beliau dalam mendakwahkan Islam dengan begitu sabar dan tegar, di samping budi pekerti beliau yang begitu luhur dan mulia, kedudukan mulia yang melekat pada beliau harus diakui oleh seluruh umat Islam.
Kedudukan mulia beliau bahkan dinyatakan sendiri oleh Allah swt, yakni dengan perintah sholawat atas Nabi. Namun begitu, perkembangan ibadah sholawat yang kemudian ditradisikan oleh sebagian kalangan membuat kalangan lain, termasuk di Muhammadiyah, sensitif terhadap ibadah ini. Bagaimanakah yang terjadi?
Perintah Sholawat dan Keutamaannya
Perintah Allah Swt agar umat Islam bersholawat kepada Nabi termaktub dalam QS. Al-Ahzab ayat 56:
اِنَّ اللّٰهَ وَمَلٰۤىِٕكَتَهٗ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّۗ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا
Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.
Ayat ini jelas menunjukkan bahwa kedudukan Nabi yang begitu mulia sehingga Allah swt dan para malaikat-Nya bersholawat kepada beliau. Dalam tafsir Al-Mishbah, M. Quraish Shihab menerangkan bahwa melalui ayat ini, Allah menetapkan bahwa umat Islam tidak saja dituntut untuk tidak merendahkan Nabi beserta ahli baitnya saja, tapi juga untuk mengagungkan beliau dan mengakui jasa-jasa beliau. Buya HAMKA dalam Tafsir al-Azhar menjelaskan bahwa kita harus memperkuat rasa hormat kita kepada Nabi hingga sampai setelah wafat beliau sekalipun, sebab Allah swt sendiri berlaku hormat kepada beliau.
Sholawat sendiri secara bahasa adalah bentuk jamak dari kata sholat yang berarti doa. Sementara itu, secara istilah sholawat memiliki beberapa makna tergantung dari siapa yang bersholawat. Sholawat dari Allah berarti Allah Swt memberi tahukan kepada hamba-hamba-Nya mengenai kedudukan Nabi-Nya dengan menyebut beliau di hadapan para malaikat, demikian al-Maraghi menjelaskan.
Selain itu juga bermakna bahwa Allah berarti memberi beliau rahmat. Adapun sholawat dari malaikat berarti para malaikat memintakan rahmat dan ampunan bagi beliau. Sedangkan sholawat dari orang-orang mukmin berarti berdoa supaya diberi rahmat. Wahbah Zuhaili dalam tafsir al-Munir menyebut hal ini berarti doa dan pengagungan atas kedudukan Nabi Muhammad Saw.
Di lain sisi, terdapat hikmah lain umat Islam bersholawat kepada Nabi. Sebagaimana yang diterangkan oleh Bahauddin Nursalim alias Gus Baha, seorang kiai alim sekaligus pakar tafsir al-Qur’an, hikmah tersebut adalah menghindarkan umat Islam dari pengkultusan sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Nasrani. Mengapa? Sebab dengan bersholawat, umat Islam mengakui bahwa Nabi Muhammad saw adalah utusan Allah sekaligus mereka memintakan kebaikan, rahmat, dan ampunan bagi Nabi kepada Allah swt.
Artinya, dengan bersholawat, umat Islam menegaskan ketuhanan Allah swt sebagai zat yang dimintai kebaikan dan menjadikan Nabi sebagai obyek dari kebaikan yang diminta dari Allah. Hal ini berbeda dari orang Nasrani yang menjadikan Yesus Kristus sebagai tuhan yang disembah dan mereka mintai permintaan.
Faedah dari bersholawat antara lain adalah mendapat sholawat (kebaikan dan rahmat) dari Allah, ditinggikan sepuluh derajat, dituliskan sepuluh kebaikan, dan dihapuskan sepuluh kesalahan (HR. An-Nasa’i dan Thabrani), dikabulkannya doa (HR. Tarmidzi), mendapat syafaat dari Nabi (HR. Muslim dan Thabrani), dan masih banyak lainnya.
Dengan demikian, sholawat menjadi bagian tak terpisahkan dari amal ibadah umat Islam. Setidaknya, bacaan sholawat yang dibaca ketika tasyahud adalah salah satu contohnya.
Pembedaan Identitas dalam Sholawat
Sebagai organisasi modern yang cukup puritan dalam aspek ibadah, tentu saja Muhammadiyah hanya mencukupkan diri dengan amal ibadah dan doa yang bersumber pada nash. Termasuk dalam hal ini adalah bacaan sholawat. Secara umum, Muhammadiyah mencukupkan bacaan sholawat pada hadis Bukhari, yakni
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ ، اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
Fokus perbincangan kita kali ini bukan soal penambahan kata sayyidina dalam sholawat, melainkan pembedaan identitas di balik kesan kata sholawat dan sholawatan.
Penulis pernah mengikuti dua grup yang membawa nama warga Muhammadiyah. Suatu kali, penulis mem-posting hadis dan tulisan mengenai anjuran sholawat beserta keutamaannya. Namun yang terjadi adalah beberapa anggota grup mengomentari bahwa Muhammadiyah tidak melakukan sholawatan, juga bahwa sholawat adalah meneladani kehidupan dan amal ibadah Nabi.
Meskipun komentar ini tidak dapat dijadikan alasan untuk melakukan sebuah generalisasi, namun di sini penulis membaca suatu fenomena adanya sensitivitas sebagian anggota grup yang membawa nama warga Muhammadiyah mengenai sholawat. Fenomena ini penulis baca sebagai sebuah upaya pembedaan identitas antara sebagian kalangan puritan seperti Muhammadiyah dan kalangan tradisionalis.
Di kalangan tradisionalis, seperti NU, pembacaan sholawat dilakukan secara kolektif kemudian menjadi tradisi. Sholawat yang dibaca juga tidak sebatas bacaan yang penulis kemukakan di atas, melainkan bervariasi hasil buah pikir para ulama dan kalangan sufi. Dua hal ini, tradisi pembacaan shalawat kolektif dan bacaan shalawat variatif yang tidak termaktub dalam nash, akhirnya menimbulkan kesan dan bias bahwa sholawatan (dan anjuran bacaan sholawat di luar sholat) adalah praktik amaliyah kalangan tradisionalis semacam NU.
Dua hal di atas apabila dilihat dari prinsip purifikasi yang dilakukan oleh Muhammadiyah, tentu saja tidak akan dijumpai landasannya sehingga kita tidak akan menjumpai pembacaan shalawat berjamaah dalam kegiatan seremonial resmi maupun tak resmi di akar rumput warga Muhammadiyah. Tentu saja penulis sadar bahwa ulama Muhammadiyah membaca sholawat, namun biasanya terbatas secara personal dan ketika membaca mukadimah ceramah.
Pada saat yang bersamaan, tanggapan kritis Muhammadiyah terhadap bacaan sholawat “baru” yang dianggap berlebihan juga memberi kesan tersendiri di mata warganya terhadap praktik sholawatan.
Alhasil, bias kesan praktik pembacaan sholawat yang melekat pada kalangan tradisionalis yang kontras dengan tidak adanya praktik serupa di kalangan Muhammadiyah dapat menjadi alasan mengapa sebagian anggota grup yang membawa nama warga Muhammadiyah agak sensitif dan terkesan resisten dengan anjuran pembacaan shalawat di luar sholat. Ditambah lagi, kecenderungan Muhammadiyah terhadap, meminjam istilah Abdul Munir Mulkhan, pragmatisasi dan fungsionalisasi ibadah dalam aspek sosial (2010), dapat menjadi alasan dari timbulnya komentar mengenai solawat berarti meneladani kehidupan Nabi.
Satu hal yang patut disayangkan adalah dalam situs resminya, Muhammadiyah hanya membahas masalah bacaan shalawat yang tidak bersumber dari nash dan penulis tidak menemukan keterangan keutamaan dan faidah sholawat secara luas dan memadai. Terlepas dari semua hal itu, penulis husnuzon bahwa semua umat Islam tidak ada yang mengingkari shalawat dan keutamaannya. Semua pasti bersholawat sebab cinta kepada Nabinya. Hanya saja, mungkin tidak semuanya setuju dengan pembacaan sholawat secara kolektif dan sholawat varian baru.
Penyunting: M. Bukhari Muslim























Leave a Reply