Prof. Abdul Mustaqim, guru besar di UIN Sunan Kalijaga Yogyakata menyinggung akan kebutuhan re-interpretasi ayat-ayat Al-Qur’an untuk menjawab problem sosial masyarakat yang begitu dinamis. Selanjutnya, ia mengelompokkan dua model penafsiran. Termasuk di dalamnya metode Qira’ah Mubadalah.
Dua Model Penafsiran
Pertama, Qiraah Mayyitah-Mutakarrirah, penafsiran yang bersifat tekstualis, jumud, kurang maqashidiyah dan sering tidak solutif. Kedua, Qiraah Hayyah Muntijah, Penafsiran yang bersifat kontekstual, kreatif, produktif, solutif dan maqhsidiyah.
Dua model penafsiran ini tentu dibutuhkan, karena memberikan solusi kepada masyarakat yang sesuai dengan maksud dari Al-Qur’an itu sendiri. Sebagaimana yang dikatakan oleh Syahrur, bahwa Al-Qur’an “shalih likulli zaman wa al-makan”. Bahwa Al-Qur’an pasti sesuai dengan realitas tempat dan waktu.
Salah satu bentuk penafsiran model kedua yang disebutkan oleh Prof. Abdul Mustaqim, Qira’ah Mubadalah. Inimerupakan sebuah bentuk metode penafsiran teks yang kontekstual yang dipopulerkan oleh Faqihuddin Abdul Kodir. Ia lebih akrab dengan panggilan Kang Faqih yang merupakan dosen di IAIN Syekh Nurjati Cirebon.
Sebelum mengkaji Mubadalah beserta penerapannya, penulis akan menggambarkan sedikit bagaimana posisi seorang wanita pada masa sebelum datangnya Islam dan setelah datangnya Islam. Ini bertujuan untuk membawa pembaca mengingat kembali bahwa Islam adalah agama yang progresif. Khususunya dalam menanggapi isu-isu yang terjadi pada wanita hingga peranan Mubadalah untuk menjawab teks-teks yang bias gender.
Wanita Sebelum Kedatangan Islam
Umar Ra., dalam sebuah kesempatan mengatakan bahwa posisi wanita hanyalah makhluk kedua pada masa Arab Jahiliyyah, ia berkata, “Dulu kami pada masa jahiliah sama sekali tidak memperhitungkan kaum perempuan, kemudian datang Islam dan Allah Swt. menyebutkan mereka dalam kitabnya, kami tahu bahwa mereka juga memiliki hak terhadap kami”
Melalui keterangan dari Umar Ra. dapat kita simpulkan bahwa sering kali peranan wanita terpinggirkan, tidak dianggap dan diacuhkan begitu saja. Wanita pada masa Arab Jahiliyyah hanyalah makhluk sosial kelas dua yang dapat diwariskan, diperjualbelikan, dan dijadikan budak seks pria sebagai pemuas nafsu saja.
Begitulah sedikit gambaran kecil posisi wanita sebelum kedatangan Islam. Islam dengan slogan agama “Rahmatan lil ‘alamin” yang bermakna rahmat untuk alam semesta. Agama dengan ajaran damai, untuk seluruh ciptaan Tuhan. Dan agama yang tidak memandang gender karena dimata Tuhan semuanya sama yang menjadi pembeda ialah ketakwaan dari tiap individu. Hal ini tertuang dalam firmannya dalam Q.S. Al-Hujurat: 13, “inna akramakum ‘indallāhi atqākum” sesungguhnya yang mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa.
Bentuk-bentuk kesetaraan gender yang dibawa oleh ajaran Islam seperti, penciptaan wanita dan pria dari asal yang sama. Atau pria dan wanita hanyalah hamba Tuhan, wanita dan pria sama-sama khalifah di bumi. Lalu pembatasan dalam menikahi wanita, kesaksian wanita, wanita mendapatkan pendidikan yang layak. Bahkan peranan perempuan dalam bidang sosial dikala itu seperti kebolehan wanita untuk ikut berperang. Banyak lagi contoh-contoh dari ajaran Islam yang mengangkat derajat wanita yang tafsirannya sesuai pada masa turunnya Al-Qur’an
Qira’ah Mubadalah
Secara singkat Mubadalah yang disampaikan oleh Kang Faqih ialah relasi antara dua pihak yang berdasarkan nilai-nilai kesetaraan, kesalingan, dan kerja sama. Dan juga Mubadalah merupakan sebuah metode dalam menganalisis teks untuk menemukan signifikansi relasional di antara pihak yang sama-sama menjadi subjek dan objek yang setara.
Salah satu bentuk pandangan Mubadalah yang dituliskan oleh Kang Faqih dalam bukunya yang berjudul “Perempuan (bukan) Sumber Fitnah mengimplementasikan Mubadalah terkait pandangan atas narasi wanita “Tercipta dari Tulang Rusuk yang Bengkok”, hal ini dijumpai ketika menafsirkan Q.S An-Nisa’: 1, yang artinya,
“Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam). Dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari dirinya”. (An-Nisā’:1)
Diskusi pada ayat di atas ialah pada pemaknaan kata “menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam). Dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari dirinya”. Penciptaan diri yang satu merujuk pada hadis yang diriwayatkan dalam Shahih Bukhari secara ringkas berbunyi فَإِنَّ المَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ و إن أعواج سيء في الضلع أعلاه. Artinya wanita diciptakan dari tulang rusuk. Dan sesungguhnya bagian yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah atasnya.
Respon atas Isu-Isu Bias Gender
Dalam pembacaan Mubadalah, secara ringkas Kang Faqih memaparkan lebih dari 15 ayat-ayat penciptaan manusia yang mana manusia baik laki-laki ataupun perempuan diciptakan dari unsur dan proses reproduksi yang sama. Maka, perlu dipahami di sini melalui pembacaan Mubadalah maknanya adalah manusia tercipta dari unsur yang sama. Maka antara pria ataupun wanita tidak ada yang menguasai satu sama lainnya, melainkan harus dengan asas kesalingan dan kerja sama.
Terlihat jelas di sini, peranan Mubadalah begitu penting merespon isu-isu actual. Khususnya terhadap teks-teks yang sering kali salah dipahami hingga membentuk narasi-narasi yang bias gender. Hal ini pula, menurut penulis, bahwa tafsiran terhadap teks-teks keagamaan harus selalu dinamis. Sehingga, ajaran Islam yang selama ini dapat diluruskan. Karena jika menapak tilas kembali kepada sejarah Islam awal datang dan berhasil secara perlahan untuk membangun relasi antara pria dan Wanita. Hingga tercipta kerja sama dan kesalingan antara pria dan wanita.
Penyunting: Ahmed Zaranggi Ar Ridho



























Kanal Tafsir Berkemajuan
Sebuah media Islam yang mempromosikan tafsir yang progresif dan kontekstual. Hadir sebagai respon atas maraknya tafsir-tafsir keagamaan yang kaku dan konservatif.