Bagi sebagian besar masyarakat islam Indonesia, memahami Al-Qur’an dari bahasa aslinya (baca:Arab) tidaklah mudah. Maka dari itu mereka membutuhkan terjemahan untuk memahami al-Qur’an. Namun, untuk memahami al-Qur’an lebih dalam, “terjemahan” saja tidaklah cukup, mereka memerlukan tafsir al-Qur’an. Dari sinilah kemudian para ulama Indonesia menulis kitab tafsir al-Qur’an berbahasa Indonesia. Usaha semacam ini dimaksudkan untuk memfasilitasi umat islam Indonesia yang ingin memahami al-Qur’an lebih dalam namun kurang mengerti bahasa Arab.
Seiring berkembangnya zaman, kitab tafsir yang ditulis dalam bahasa Indoneisa semakin banyak dan beragam. Di antaranya yang paling terkenal adalah Tafsir Al-Misbah yang ditulis oleh M. Qurais Shihab, dan Tafsir Al-Azhar yang ditulis oleh Buya Hamka. Selain dua tafsir di atas, ada juga tafsir berbahasa Indonesia yang kurang dikenal masyarakat luas. Misalnya,Tafsir Sinar yang ditulis oleh H. Abdul Malik Ahmad.
Meskipun tidak sepopuler Tafsir Al-Misbah dan Tafsir Al-Azhar, namun Tafsir Sinar memiliki keunikan tersendiri yang patut diapresiasi. Tulisan ini akan mengulas secara ringkas seluk beluk Tafsir Sinar, mulai dari biografi penulisnya, latar belakang penulisannya, coraknya, sampai sistematika penulisannya.
Biografi H. Ahmad Malik Ahmad
Haji Abdul Malik Ahmad (selanjutnya ditulis H.A Malik Ahmad) dilahirkan di Nagari Sumanik, Tanah Datar, Sumtera Bara pada tanggal 7 Juli 1912. Ia adalah anak pertama dari empat bersaudara. Ayahnya bernama Ahmad bin Abdul Muriddan sedangkan ibunya bernama Siti Aisyah. Ayahnya adalah seorang pembaharu islam pada masanya.
H.A Malik Ahmad kecil memulai pendidikannya di Sekolah Rakyat yang berada di Sungai Tarab. Selanjutnya ia melanjutkan pendidikannya di Thawalib Parabek yang dibina oleh Syaikh Ibrahim Musa dan Thawalib Padang Panjang (1924) yang didirikan oleh Haka (ayah Buya Hamka). Di sanalah ia mulai mendalami bahasa Arab dan ilmu-ilmu keislaman yang lain. Slepas tamat di Sumatera Thawalib, H.A Malik Ahmad meneruskan pendidikannya di Tabligh School Muhammadiyah yang dalam perkembangannya berganti nama menjadi Kulliyatul Muballighin Muhammadiyah Padang Panjang.
H.A Malik Ahmad pernah masuk organisasi Muhammadiyah Cabang Padang Panjang pada tahun 1930. Ia juga pernah dikader langsung oleh Ahmad Rasyid Sutan Mansur (A.R. Sutan Mansur).
Penolakan H.A Malik Ahmad Terhadap Asas Tunggal Pancasila
Selain dikenal sebagai sosok ulama, H.A Malik Ahmad juga aktif dalam perpolitikan Indonesia. Tercatat ia pernah menjabat sebagai Wakil Kepala Jawatan Sosial Sumatera Barat tahun 1947. Menjelang agresi militer II, H.A Malik Ahmad dilantik sebagai Wakil Bupati Militer 50 Kota, mendampingi Saalah Yusuf Sutan Mangkuto.
Pada masa Orba (orde baru), pemerintah membuat kebijakan bahwa seluruh partai politik dan organisasi kemasyarakatan harus menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal. H.A Malik Ahmad menolak kebijakan tersebut dengan alasan bahwa, menjadikan Pancasila sebagai asa tunggal dianggap bertentangan dengan akidah islam yang lurus. Menurutnya asas tunggal yang hakiki bagi umat islam hanyalah asas islam.
Pada dasarnya, H.A Malik Ahmad tidak pernah menolak Pancasila sebagai dasar negara, ia hanya menolak konsep Pancasila sebagai asas tunggal. Pernyataan ini ditegaskan sendiri oleh H.A Malik Ahmad dalam lembaran kerja yang berjudul “Menuju Shirathan Mustaqima” yang dikirim menjelang Muktamar ke-41 di Surakarta.
Mengenal Tafsir Sinar Karya H.A Malik Ahmad
Tafsir Sinar adalah tafsir Al-Qur’an berbahasa Indonesia yang disajikan berdasarkan urutan turunnya surat-surat dalam Al-Qur’an (tartib nuzul surat) mulai dari surat Al-‘Alaq sampai surat At-Taubah. H.A Malik Ahmad tidak menyajikan tafsir ini berdasar urutan turunnya ayat, karena menurutnya ini memerlukan usaha yang keras dan butuh waktu yang panjang, sehingga ia menyajikan tafsir ini berdasar urutan turunnya surat. H.A Malik Ahmad juga menjelaskan bahwa ia tidak bermaksud untuk merubah susunan mushaf Al-Qur’an yang sudah ada saat ini. Ia hanya mencoba menghidangkan Tafsir Al-Qur’an menurut tartib nuzul surat dengan maksud untuk mendekatkan rasa, sesuai dengan apa yang telah dilalui para sahabat Nabi saw.
Pola penyajian (tartib nuzul surat) inilah yang membuat Tafsir Sinar unik dan berbeda dari tafsir berbahasa Indonesia pada umumnya. Menurut Aksin Wijaya, pola penyajian tafsir berdasarkan tartib nuzul surat adalah upaya guna menghadirkan sejarah kenabian berbasis al-Qur’an.
Dalam kata pengantar Tafsir Sinar jilid I, H.A Malik Ahmad menyatakan, bahwa tujuannya menuliskan tafsir sesuai urutan turunnya surat adalah agar umat dapat mengenal jiwa dan isi al-Qur’an sesuai dengan keadaan yang dihadapi Muhammad saw pada waktu turunnya surat, berangsur-angsur sampai kepada surat terakhir yaitu surat At-Taubah.
Di dalam pengantar Tafsir Sinar jilid I, H.A Malik Ahmad juga menjelaskan bahwa memahami al-Qur’an menurut tartib nuzul surat akan memudahkan pembaca dalam memahami rentetan usaha dan perjuangan Nabi saw, kemajuan dari kekuatan jiwa menghadapi usaha-usaha besar untuk mematahkan dakwah Nabi saw dari musuh islam. Selain itu juga untuk mengenali perkembangan mutu rohani, mutu pengetahuan, mutu akhlak, mutu organisasi, susunan kenegaraan, cara pelaksanaan hukum dan sistem masyarakat islam.
Menurut beberapa referensi, Tafsir Sinar bercorak adabi ijtimai’. Corak tafsir yang memaparkan petunjuk-petunjuk al-Qur’an yang ada kaitannya langsung dengan masyarakat disertai dengan usaha-usaha untuk menanggulangi masalah-masalah yang ada dimasyarakat melalui petunjuk-petunjuk al-Qur’an.
Melalui karyanya ini (Tafsir Sinar), H.A Malik Ahmad berharap agar umat islam bisa kembali kepada roh Al-Qur’an sebagaimana yang dipahami, dirasakan, dan dipraktekan pada zaman Rasul saw dan sahabat-sahabatnya. Harapan ini disampaikan H.A Malik Ahmad dalam kata pengantar Tafsir Sinar jilid I.
Editor: An-Najmi Fikri R
























Leave a Reply